Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"[LOMBAPK] Tiga Dara, Asyiknya Menonton Film Lama"

15 Agustus 2016   07:20 Diperbarui: 15 Agustus 2016   08:00 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan kerja keras, ketelitian, dan kesabaran, termasuk juga ongkos yang mahal karena menggunakan laboratorium di Italia, film nasional yang dibuat tahun 1956 karya sutradara besar pada zamannya, Usmar Ismail, berhasil direstorasi. Film berjudul Tiga Dara ini sekarang tengah diputar di beberapa bioskop di ibukota.

Kalau masyarakat lagi gandrung dengan lagu-lagu lama seperti terlihat di sebuah acara lomba penyanyi lagu lama di sebuah stasiun televisi, logikanya film lama pun berpeluang untuk dibanjiri penonton. Dugaan saya tidak meleset. Saat saya menonton di salah satu bioskop di ibukota, Minggu (14/8) kursi bioskop terisi penuh. Tidak hanya orang tua yang ingin bernostalgia, tapi juga para remaja banyak yang tergoda menyaksikan bagaimana gaya kakek-neneknya di saat masih muda.

Meski film jadul, kisah yang diangkat sebetulnya tetap relevan untuk masa kini. Tersebutlah tiga gadis cantik kakak beradik yakni Nunung (Chitra Dewi), Nana (Mieke Wijaya), dan Nenny (Indriati Iskak) yang tinggal bersama ayah dan neneknya. Sedangkan ibunya sudah meninggal, sehingga Nunung sebagai anak tertua berfungsi sebagai "ibu" bagi adik-adiknya. Nununglah yang memasak, menyiapkan pakaian, dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya.

Akibatnya Nunung menjadi kurang gaul dan sampai usia 29 tahun masih belum punya teman lelaki. Padahal kedua adiknya sangat supel dalam berteman dengan lawan jenis. Nana bahkan jago berdansa, sesuatu yang lazim bagi kalangan anak muda kelas menengah ke atas di saat itu. Hal inilah yang meresahkan sang nenek yang ingin melihat cucu tertuanya menikah sebelum meninggal dunia.

Nah, liku-liku bagaimana konflik antara Nunung dengan neneknya yang memaksakan kehendak agar Nunung pintar berdandan dan tidak di rumah saja, juga konflik Nunung dengan Nana yang proaktif menggaet seorang pemuda bernama Toto (Rendra Karno) yang sebetulnya naksir Nunung, tersajikan dengan amat baik. Kesedihan dan juga kelucuan silih berganti dan berakhir dengan happy ending. 

Saking terhanyutnya penonton, begitu film selesai, banyak yang bertepuk tangan, sesuatu yang kurang lazim sebetulnya kalau menonton di bioskop. Dengan jalinan cerita yang terjaga rapi, penonton memang seperti digiring untuk bersimpati pada tokoh Nunung, sehingga kalau Nunung sedih penonton ikut sedih dan sebaliknya.

Ada kesyahduan menonton film dalam format hitam putih. Melihat dandanan dan fashion tempo doeloe pun, juga terasa enak dipandang. Tidak ada cewek pakai jean dan t-shirt, belum muncul pula semarak berjilbab seperti sekarang. Dengan kebaya atau baju terusan hingga di bawah lutut, serta rambut yang disisir rapi, penampilan cewek tempo doeloe terlihat lebih sopan. 

Keistimewaan film Tiga Dara juga terletak pada lagu-lagunya, karena konsep film ini adalah drama musikal. Lagu-lagunya, sebagian besar ciptaan komponis Saiful Bahri, di samping sebuah lagu ciptaan Ismail Marzuki. Lagu tersebut terdengar merdu, meski dengan instrumen musik yang sederhana.  Sambil menyanyi tersaji pula bumbu tarian, meskipun tidak sampai berlebihan seperti film India. 

Terasa sekali bedanya menonton film lama dengan film yang dibikin sekarang tapi bercerita tentang sesuatu yang terjadi di masa lalu. Film lama jelas orisinilnya. Film tentang cerita zaman lampau belum tentu akurat penggambarannya. Ambil contoh film Rudy Habibie yang diperankan Reza Rahadian, terlihat berbagai properti yang digunakan berbau masa kini, meski dimaksudkan menggambarkan kondisi puluhan tahun yang lalu.

Dalam Tiga Dara, kita bisa mengetahui betapa nyamannya suasana Jakarta tempo doeloe. Rumah-rumah tidak berpagar tinggi, tapi cukup berpagar tanaman yang indah. Sebagian jalan di ibukota terlihat belum diaspal, namun jalan tersebut terasa lapang,  bebas  dari kemacetan. Sepeda motor jenis skuter sudah dianggap mewah saat itu. 

Belum ada Ancol, tapi pantai Cilincing yang penuh pohon kelapa menjadi tempat favorit warga ibukota untuk jalan-jalan. Ada pula suasana kawasan Puncak di saat itu, yang betul-betul asri, beda jauh dengan saat ini yang penuh ruko, vila, dan hotel. Hiburan bersifat pertunjukan yang paling laku ketika itu adalah menonton di bioskop, sampai memunculkan tukang catut alias calo karcis. Semua itu tergambar di Tiga Dara.

Saya membaca di Kompas Minggu (14/8) bahwa biaya untuk merestorasi film ini lebih kurang Rp 3 miliar. Walaupun sudah menghemat dibanding perkiraan semula yang sekitar Rp 5 miliar,  angka ini masih sangat besar, tidak beda jauh dengan biaya membuat film baru. Tapi hasil kerja proyek idealis ini sungguh patut mendapat apresiasi tinggi. Andaipun secara komersial biaya tersebut tidak tertutupi dari pemasukan penonton, nilai sejarahnya dan manfaat intangible-nya tidak ternilai. 

Bayangkan betapa sulitnya untuk bisa merestorasi film lama. Untuk case Tiga Dara, seperti ditulis Kompas, proses pembersihan dan reparasi fisik dilakukan menggunakan mesin pembersihan ultrasonik dan kimia berkali-kali. Pembersihan juga dilakukan secara manual menggunakan tangan reel per reel karena kondisi film yang cukup parah. Setelah pembersihan jamur, dilakukan perbaikan perforasi, lalu merangkai kembali frame yang robek, pecah, dan sebagainya. Sementara digitalisasi gambar dan audio dilakukan menggunakan wetgate, sekaligus dijaga secara manual karena banyak bagian yang sudah mengerut. Audio digitalisasi dari pita magnetik menggunakan pemindai laser. Setelah itu dilakukan perbandingan dari satu copy ke copy lain untuk mendapatkan rangkaian materi paling maksimal sebagai bahan dasar memulai proses restorasi digital.

Mudah-mudahan terhadap film jadul lainnya yang tak kalah bermutu, ada pihak lain yang berani berkorban untuk merestorasi. Film jadul meski dibuat dengan teknologi seadanya, tapi mutu penyutradaraannya serta jalinan cerita yang diangkat sangat memikat, dalam arti lebih bernilai ketimbang kebanyakan film masa kini yang menonjolkan aspek kelucuan, kekerasan, horor, atau sensualitas semata.

Hal ini sekaligus menjadi masukan bagi institusi yang berkaitan dengan perfilman untuk lebih peduli dalam memelihara arsip film. Tentu juga perlu biaya untuk pengarsipan ini, namun pasti jauh lebih hemat daripada membiarkan film itu rusak dan merestorasinya. Sebagai industri kreatif, diharapkan Badan Ekonomi Kreatif, institusi baru yang dibentuk Presiden Joko Widodo, bisa menjadi koordinator hal tersebut sebagai salah satu program kerjanya. Pada saatnya nanti, film yang dibuat di era sekarang pun, juga akan menjadi sejarah bagi anak cucu kita.

[caption caption="Poster film Tiga Dara"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun