Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perbaharui Komitmen terhadap Perusahaan, Jangan Jadi Medioker

15 September 2016   12:36 Diperbarui: 15 September 2016   14:40 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebaik-baik manusia adalah yang berada di tengah. Konon soal posisi di tengah ini, dalam arti tidak berlebihan tapi juga tidak kekurangan, sering menjadi bahan ceramah para ustad. Maksudnya hiduplah dengan sederhana. Saya menafsirkannya dengan contoh, tidak baik yang serba terlalu. Terlalu marah, terlalu takut, terlalu banyak omong, terlalu diam, terlalu mewah, dan sebagainya. 

Namun demikian, kita perlu hati-hati dalam soal kesederhanaan itu. Jangan sampai dibaca seolah-olah seseorang yang terlalu menonjol sama tidak baiknya dengan seseorang yang tidak punya apa-apa yang bisa ditonjolkan, terutama dalam konteks memenangkan suatu persaingan. Untuk menang tentu kita harus jauh lebih hebat dari yang lain. Tinggal lagi bagaimana  menang secara fair dan tidak melukai hati yang kalah.

Saya punya pengalaman di kantor tempat saya dulu bekerja. Ada atasan saya yang menurut saya jago memberi motivasi, yang bernama Pak Bachtiar Usman. Saat saya masih staf junior, saya beberapa kali dipanggil ke ruang kerja beliau hanya buat diceramahi satu sampai dua jam.

Meski saat itu saya kadang-kadang kurang sabar juga mendengar ceramah beliau, belakangan saya menyadari hal tersebut sebetulnya sebuah pelajaran mahal yang beliau berikan secara gratis kepada saya.

Inti "khotbah" beliau adalah memacu saya untuk maju, dan beliau  melihat saya punya potensi untuk itu. Jangan bekerja seperti rata-rata teman lain. Kelas rata-rata tersebut disebut beliau sebagai medioker. Jadilah seseorang yang menonjol, di atas rata-rata karyawan. Istilah medioker tersebut oleh salah seorang senior saya yang karirnya cemerlang disebut dengan "rata-rata air".

Bekerjalah lebih baik, lebih bersemangat, lebih cepat, lebih banyak, dan lebih-lebih lainnya yang bernilai positif. Sayangnya, adakalanya saya tergoda juga untuk sering bersantai ria, karena kelihatannya yang rajin dan yang santai sama saja gajinya. Bahkan yang rajin malah ketiban pekerjaan lebih banyak karena menjadi andalan atasan.

Tapi seiring berjalannya waktu, baru saya mengerti bahwa teman yang rajin dan dibebani tugas banyak tanpa menggerutu itu karirnya melesat cepat. Tentu dengan gaji baru yang melebihi teman-teman se angkatannya.

Akhirnya saya menerapkan salah satu wejangan Pak Bachtiar di atas, yakni memilih mempelajari suatu bidang secara mendalam, dan mendapat pengakuan tidak tertulis di lingkungan kerja bahwa bila ada masalah di bidang tersebut, mereka meminta pandangan saya. Alhamdulillah karir saya pun relatif cepat menanjak.

Bagi mereka yang berstatus pegawai, baik dari suatu instansi pemerintah maupun perusahaan swasta, dan berniat untuk "menyandarkan diri" pada institusi tempat bekerja, tak bisa lain, harus sering-sering memperbaharui komitmen. Bahkan hal ini tidak hanya diperlukan bagi pengembangan karir, tapi juga berguna untuk kepuasan diri sendiri.

Artinya anggaplah kita sudah bekerja dengan serius dan rasa-rasanya lebih baik dari teman lain, eh gak taunya yang dipromosikan adalah teman lain. Kondisi begini tetap ada manfaat buat kita, sepanjang kita bekerja dengan passion dan setulus hati.

Pengalaman tersebut sangatlah "mahal" nilainya. Pada waktunya kita tetap akan diakui kontribusinya oleh organisasi. Kalau akhirnya kita mengucapkan sayonara karena merasa mendapat perlakuan kurang adil dan berniat hinggap di perusahaan lain, pengalaman tersebut bisa jadi credit point.

Adalah amat menyiksa diri bila kita setiap hari berjam-jam bekerja, pergi subuh pulang malam, begitu terus selama bertahun-tahun, hanya untuk sesuatu yang monoton, tidak membawa nilai tambah baik bagi diri sendiri maupun bagi instansi atau perusahaan.

Paling tidak, secara rutin, misal setiap akhir atau awal tahun, kita perlu mengevaluasi dan memperbaharui komitmen pada perusahaan tempat kita mengabdi. Caranya dengan melihat hubungan segi tiga antara nilai-nilai pribadi, nilai-nilai organisasi, dan nilai-nilai yang diterapkan atasan saat ini.

Contoh, bila perusahaan sedang bergerak cepat menambah pelanggan dengan cara yang sehat, dan sejalan dengan nilai pribadi kita yang menjunjung etika bisnis, namun atasan meminta kita untuk mencari pelanggan dengan cara memberi "harapan palsu", maka kita bisa berupaya kompak sesama karyawan untuk secara halus mengingatkan atasan.

Namun, bila atasan sudah berlaku fair, hanya kita yang kurang mampu lari kencang, maka perlu introspeksi. Buat komitmen untuk mengembangkan diri, termasuk dengan meminta masukan dari atasan dan rekan kerja, agar kita juga tahu apa kekurangan kita di mata orang lain.

Yang paling penting adalah membulatkan tekad untuk menjadi "bintang" dengan menjaga kondisi kesehatan mental, agar setiap bangun pagi, muncul energi baru. Libatkan diri dalam bekerja secara spiritual, intelektual, sosial, dan emosional yang positif, agar mampu menghasilkan kinerja terbaik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun