Berkali-kali teman saya di sebuah grup WhatsApp mengirimkan berbagai foto saat ia lagi berbuat sesuatu yang positif. Terakhir ia mengirimkan foto saat ia naik haji bersama ibundanya.
Kiriman foto tersebut disertai penjelasan bahwa ia tidak bermaksud riya (pamer). Ia juga menyarankan agar teman-teman segrup mulai memikirkan "tabungan akhirat" dan selagi masih ada orang tua agar tidak menunda-nunda membalas budi. Atas nasihat itu pun, juga disertai embel-embel bahwa ia tidak bermaksud menggurui.Â
Bisa saja teman tersebut merasa tidak berbuat riya dan tidak menggurui. Tapi persepsi pembaca pesan bisa sebaliknya. Justru karena diberi catatan bahwa itu tidak bermaksud riya, sesungguhnya tidak kehilangan kesan keriyaannya. Justru karena dibilang tidak menggurui, artinya ia sudah sadar bahwa cara yang ditempuhnya memang sangat berpotensi untuk dinilai orang lain sebagai menggurui.
Meskipun tidak sama, mungkin hal ini mirip dengan orang yang bilang bahwa ia tidak marah, tapi perilakunya jelas-jelas marah. Atau ia tidak sedih, tapi yang terlihat di wajahnya adalah kesedihan yang amat sangat.Â
Memang tidak sejalannya kata atau tulisan dengan perbuatan atau perasaan seseorang, merupakan hal yang biasa. Tentu yang betul adalah perbuatan dan perasaan, bukan kata atau tulisan. Orang lain pastilah dengan gampang mengambil kesimpulan dari yang tersirat, bukan yang tersurat. Sehingga kalimat pengantar bahwa "saya tidak riya" jadi mubazir.
Banyak pula orang yang amat sadar bahwa apa yang diomongkannya belum sejalan dengan apa yang diperbuatnya. Dengan jujur ia berkata, "Lakukan apa yang saya katakan, bukan apa yang saya perbuat".Â
Dalam versi khutbah di masjid, hal di atas sering disebut dalam kalimat bahwa khatib berwasiat kepada diri khatib sendiri dan kepada seluruh jamaah. Artinya sang khatib menyadari bahwa meskipun beliau tahu teorinya, tapi dalam praktik kedudukannya sama dengan jamaah, sama-sama perlu terus menerus diingatkan.
Dalam konteks pidato pejabat, tidak jarang kita mendengar pejabat yang berapi-api berteriak mari perangi korupsi. Ternyata kemudian si pejabat yang sering ngomong anti korupsi itu, terkena operasi tangkap tangan KPK. Hal ini semakin memperkuat argumen bahwa krisis keteladanan di negara kita sudah tergolong parah.
Di Pekanbaru, taman integritas yang antara lain dihiasi papan bertuliskan ajakan melawan perilaku korupsi, saat pengerjaan proyek ini dikorup juga.Â
Lain di mulut, lain di hati. Toh pada akhirnya publik punya ukuran tersendiri. Boleh saja ada seorang pejabat pemerintah daerah yang mengaku dirinya bersih. Namun publik tidak bisa dibohongi karena melihat beberapa rumahnya yang mewah dan mobilnya yang banyak. Dari mana semua itu, toh gaji resminya tidak cukup untuk hidup semewah itu.
Ada orang yang gemar membantu kaum dhuafa secara diam-diam, tapi ada pula yang memanggil wartawan setiap memberikan sumbangan. Sedangkan orang kaya yang jarang membantu tetangganya yang hidup susah, mengaku bukan pelit, hanya takut si tetangga jadi ketagihan dan tidak mendidik orang lain bisa mandiri.
Di kalangan orang kantoran, sikap pencitraan di level anak buah juga menarik diamati. Ada yang rajin kalau lagi dilihat oleh atasannya, tapi menolak disebut mencari muka. Ada yang malas dengan alasan sebel sama bos, padahal sudah dari sononya malas, karena sudah ganti bos beberapa kali, malasnya gak sembuh-sembuh.
Kalau sudah seperti ini sudah tidak relevan lagi membahas apakah hal itu riya atau bukan. Yang jelas jamaah tersebut seharusnya sudah tahu bahwa bila ada tersembunyi niat untuk memamerkan kesalehan atau agar dipuji orang lain, maka nilai ibadahnya akan terdegradasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H