Sungguh membanggakan membaca berita tim sepak bola usia remaja (kategori Boys 15)  ASIOP Apacinti sukses mengharumkan nama Indonesia di level internasional. Mereka meraih Piala Gothia setelah di final mengandaskan tim dari  tuan rumah Swedia, dengan skor 3-1.
Klub Indonesia lainnya, Topskor Indonesia, juga meraih prestasi gemilang sebagai juara 2 pada kelompok Boys 13 atau usia di bawah 13 tahun. Mereka selalu meraih kemenangan sebelum kalah tipis 0-1 di final melawan tim dari Meksiko.
Dibanding seniornya, yang sudah puluhan tahun puasa gelar, jangankan level dunia, sekadar Asia Tenggara pun kita dipandang sebelah mata, maka prestasi remaja kita sungguh membanggakan dan menjanjikan.
Tapi betulkah menjanjikan? Inilah yang mohon maaf agak disangsikan. Soalnya, bahwa di usia remaja, pemain kita berprestasi, meski bukan juara Gothia, dari data sejarah juga telah ada sejak dulu.
Dulu  Indonesia pernah jadi juara pelajar Asia. Tabloid Bola edisi 19 Oktober 1984 bisa ditelusuri bagaimana perkasanya Tiastono Taufik serta Noah Meriem dan kawan-kawan dengan mengalahkan Hongkong, Korsel, Cina, Thailand dan negara lainnya dalam turnamen yang berlangsung di India.
Syamsir Alam dan kawan-kawan pernah pula mempersembahkan juara Asia U 15 di tahun 2009. Tapi sebagaimana bintang saat remaja lainnya, begitu bertarung di tim senior, sinarnya memudar. Syamsir sekarang memperkuat salah satu klub di Kalimantan dan lebih sering duduk di bangku cadangan.
Pemain remaja kita berprestasi lumayan karena memang kita mempunyai banyak sekolah sepak bola yang relatif baik. Dulu sebelum menjamur sekolah sepak bola, kita punya diklat sepak bola di beberapa kota. Bambang Pamungkas adalah produk Diklat Salatiga.
Setelah itu kita pernah pula mengirim remaja berbakat berlatih dan berkompetisi di negara yang maju sepak bolanya. Sayangnya proyek tersebut yakni Primavera di Italia dan SAD di Uruguay kurang berhasil.
Mengirim pemain remaja secara individu untuk bermain di klub usia remaja di Eropa, pernah pula dicoba. Itulah yang dialami Sutanto Tan (sekarang main di Persija) dan Gavin Kwan Adsit (Mitra Kukar).
Mengambil pemain remaja Eropa berdarah Indonesia dan dinaturalisasi telah pula dicoba. Irfan Bachdim dan Kim Jeffry Kurniawan sempat memberi angin segar, namun kemudian terlihat biasa-biasa saja.
Barangkali sekarang kita sudah berada di jalur yang pas dengan maraknya sekolah sepak bola. Tapi inipun cenderung bersifat bisnis. Hanya anak dari orang tua yang mampu secara finansial yang berpeluang untuk maju.
Kita butuh lebih banyak lagi Indra Sjafri yang berjibaku mencari pemain berbakat justru di daerah yang secara ekonomi tertinggal seperti di Papua, Maluku, NTT, dan termasuk anak-anak  kampung di Jawa sendiri.
Penyakitnya mungkin di atmosfir senior kita yang tidak sehat. Aroma judi, kepentingan jangka pendek pengurus, wasit yang sangat toleran dengan permainan keras, rawan cedera, cepat besar kepala disanjung media massa, telah menghancurkan bintang masa depan kita. Mereka layu sebelum berkembang.
Evan Dimas saja yang dulu terkenal kesantunannya, setelah bermain di level senior memperkuat klub Bhayangkara Surabaya United, beberapa kali melakukan tindakan kurang terpuji. Evan pernah adu mulut secara over dengan pemain lawan atau dengan wasit dan tersorot kamera teve saat siaran langsung.
Evan belum tentu bersalah mutlak. Bisa jadi ia merasa korban ketidak adilan wasit. Evan memang salah satu pemain yang ditempel ketat lawannya. Terkadang Evan dikasari secara fisik tapi didiamkan wasit.Â
Kesimpulannya, kalau atmosfir sepak bola kita, khususnya di level senior, gagal direformasi, maka kemenangan tim remaja kita hanya sekadar hiburan selingan semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H