Kebetulan saya pernah sekitar sebulan yang lalu mengikuti presentasi dari pejabat di perusahaan besar yang pusatnya ada di Amerika Serikat, General Electric, atau lebih populer disebut GE. Nama pejabat tersebut Dr. Handry Satriago, seorang profesional, dan orang Indonesia pertama yang dipercaya menjadi CEO dari GE Indonesia, bagian dari GE Company, salah satu perusahaan terbesar dan tertua di dunia
Pria yang gemar membaca, mengoleksi lukisan tradisional Bali dan travelling ini, sering ditulis oleh media sebagai “produk” asli Indonesia yang meraih posisi terhormat di perusahaan multinational, karena semua proses pendidikan formalnya ditempuh di tanah air. Latar belakangnya berasal dari keluarga sederhana, orang tuanya bersuku Minang yang merantau ke Riau. Lahir di Pekanbaru tahun 1969 dan sampai SMA dihabiskannya di kota kelahirannya. S1 diselesaikannya di IPB sedangkan S2-nya dari IPMI Jakarta serta S3 dari UI.
Pada usia 18 tahun ia terkena penyakit kanker getah bening yang membuatnya harus memakai kursi roda hingga sekarang. Kala itu ia sempat putus asa dan mengurung diri di dalam kamar. Namun setelah tiga bulan dalam kesedihan yang amat sangat, Handry bangkit dan kembali bersekolah.
Handry mempunyai perhatian yang serius untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia di negara kita. Ia kecewa karena di banyak perusahaan multinational yang beroperasi di Indonesia, jangankan untuk menjadi CEO, untuk menjadi kepala wilayah saja, katakanlah kepala wilayah Kalimantan, itupun dijabat ekspatriat.
Menurut pemaparan Handry, sebetulnya di mata manajer-manajer bule, orang kita baik-baik saja. Bahkan mereka salut karena bila mereka menetapkan target, anak buah mereka yang orang Indonesia selalu mencapai, bahkan melampaui target. Tapi sekadar mampu melampaui target bukan berarti cocok untuk jadi pejabat tinggi di perusahaan tersebut. Masalahnya adalah orang kita punya kelemahan mendasar untuk menjadi pimpinan perusahaan, yakni cenderung diam, tidak berani mengungkapkan ide baru.
Para staf asal Indonesia tergolong "yes man", dan sering bersikap ABS (asal bapak senang). Kalo bos bertanya ada masalah apa, selalu dijawab: siap bapak, semua lancar. Tak ada umpan balik. Padahal, tiba-tiba nantinya ada masalah besar yang tak bisa lagi disembunyikan, membuat manajemen sudah terlambat untuk bertindak.
Kesimpulannya, orang kita hanya cocok sebagai pelaksana, yang jalan kalau ada perintah. Tidak berani berinisiatif, dan selalu minta "arahan" dari atasan. Inginnya tetap di zona nyaman, takut dengan tantangan baru.
Diberi tantangan baru, mereka menjawab: "bisa sih pak, tapi susah". Padahal jawaban yang diinginkan bos: "susah sih pak, tapi bisa". Kalau ada atasan, mereka serius bekerja, atasannya pergi, mereka santai lagi.
Handry merasa terpanggil untuk mencetak pemimpin baru, karena pada dasarnya tugas pemimpin yang paling penting adalah menyiapkan pemimpin pengganti. Untuk itu, ia merangsang anak buah untuk mengeluarkan ide, bahkan mewajibkan mereka menyetor ide sekali seminggu. Biasanya karena bersifat wajib, ide yang masuk asal-asalan saja, bahkan banyak yang seperti becanda. Tapi tetaplah konsisten. Nanti setelah tiga bulan pasti akan dapat ide yang bernas, kata Handry mengacu pada pengalamannya.
Beda sekali perusahaan yang penuh ide dengan yang tanpa ide. Contoh, kopi asli Indonesia rasanya lebih enak dari Starbucks. Tapi kopi kita hanya menjual produk, makanya murah. Sedangkan Starbucks menjual nilai, gaya hidup, hasil kristalisasi ide brilian, dan dihargai beberapa kali lipat dari kopi yang sekadar menjual produk.
Syukurlah, sekarang, meski dalam kondisi sistem pendidikan formal yang masih perlu pembenahan, generasi muda kita mulai unjuk gigi dari hasil belajar sendiri, terutama sejak ilmu pengetahuan bisa didapat secara mudah melalui jaringan internet.
Karena Handry memberi contoh ada alumni SMK Salatiga yang bisa mengalahkan sarjana keluaran Oxford, saya mencari berita tentang hal tesebut, dan dua alinea di bawah ini saya kutipkan dari kompas.com.
Bangsa Indonesia tak boleh kehilangan semangat sebagai bangsa yang kreatif dan inovatif. Lihatlah, pemuda lulusan sekolah menengah atas dan kejuruan (SMA-SMK) asal Salatiga ini mampu mengalahkan insinyur-insinyur dunia. Sungguh, kekayaan bangsa ini tidak terletak pada sumber daya alamnya, tapi pada sumber daya manusiannya. Arfian Fuadi (28) dan Arie Kurniawan (23), kakak beradik asal Salatiga, menyabet juara pertama dalam "3D Printing Challenge" yang diadakan General Electric (GE) tahun ini. Tidak cuma itu, dalam kompetisi tersebut, karya Arfian dan Arie berhasil mengalahkan karya insinyur lulusan universitas terkemuka dunia.
Arfian dan Arie berhasil mendesain jet engine bracket yaitu salah satu komponen untuk mengangkat mesin pesawat terbang yang paling ringan dari komponen serupa yang pernah dibuat di dunia. Bahkan, mereka berhasil mengalahkan peserta dengan gelar Ph.D dari Swedia yang menyabet peringkat kedua dan insinyur lulusan University of Oxford yang meraih juara ketiga," ujar Handry Satriago, CEO General Electric Indonesia, Jakarta, Selasa (22/7/2014). Dua pemuda lulusan SMA Negeri 7 Semarang dan SMK Negeri 2 Salatiga, Jawa Tengah, ini berhasil menyisihkan 700 karya dari 50 negara peserta yang mengikuti kompetisi tersebut.
Hebat sekali bukan? Bayangkan, kehebatan orang kita akan makin terasah bila sejak bangku sekolah dasar anak-anak dikondisikan gurunya untuk berani menyampaikan pendapat. Kalau ada pendapat yang kritis atau nyeleneh, tidak diketawain, yang bikin anak jadi takut ngomong. Intinya terapkan pola pengajaran yang interaktif, dua arah, dan murid dipandang sebagai subyek, bukan obyek, sehingga mereka mampu melahirkan berbagai kreasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H