Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mahalnya Biaya Kebingungan Berjamaah

12 Agustus 2016   09:00 Diperbarui: 12 Agustus 2016   09:06 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jika seseoarang bingung, mungkin akibatnya tidak begitu fatal. Ada yang bingung karena terlalu banyak pilihan. Terlalu banyak pacar, terus bingung yang mana yang mau dinikahi. Terlalu banyak baju, tas, sepatu, dan asesoris lain, bingung bagaimana memadu padankan untuk berbagai agenda acara.

Ada pula yang bingung karena tak ada pilihan. Mau cari pekerjaan ditolak di mana-mana. Sering naksir cewek, tapi gak ada satu pun yang mau didekati. Bingung versi individual tersebut sebetulnya makan ongkos juga, yakni bila mendatangkan stres yang berujung ke sakit serius.

Tapi persoalannya jadi lain bila kebingungan melanda sekelompok orang hebat secara berjamaah. Ambil contoh, sebuah perusahaan yang menyediakan jasa penjualan barang secara dalam jaringan (daring).

Ketika tiba-tiba pelanggannya yang sudah semakin banyak, tidak bisa bertransaksi karena jaringan elektroniknya lagi error yang berlangsung cukup lama di seluruh Indonesia, kebayang kan, bagaimana paniknya semua karyawan menerima keluhan, bahkan lebih tepat disebut caci maki dari para pelanggan. Padahal pelanggan adalah raja.

Sia-sia kerja keras bagian yang merancang promosi yang berhasil menarik minat masyarakat. Sia-sia kerja keras bagian pemasaran yang mampu mendapatkan pelanggan dalam jumlah banyak.

Lalu tudingan sebagai penyebab biang kerok diarahkan pada bagian yang menangani teknologi informasi yang dianggap tidak mampu mendeteksi lebih awal akan munculnya error karena kapasitas sistem yang sudah tidak memadai lagi.

Tentu bagian teknologi juga membela diri, dan merasa dikerjain oleh bagian pengadaan yang dulu membeli barang murahan dan dibangga-banggakan sebagai langkah jitu yang sangat efisien. Apalagi pihak vendor yang menjual barang yang berkaitan teknologi, sering memakai bahasa planet yang tidak dimengerti pembeli.

Bagian pengadaan juga merasa barang yang dibeli tersebut dulu sudah disetujui oleh bagian teknologi dan juga spesifikasinya sudah sesuai dengan kebutuhan bagian produksi. Lalu dipromosikanlah dengan gencar. 

Mumetlah para petinggi perusahaan. Mereka bingung secara berjamaah. Berkali-kali rapat, workshop, panggil para manajer dari seluruh Indonesia untuk mendapatkan gambaran yang real dari lapangan.

Hanya untuk menentukan bagian mana yang bersalah dan dari mana koreksi harus dimulai, susahnya setengah mati. Kerugian yang diderita tentu besar sekali. Bukan ongkos rapat berkali-kalinya saja yang besar, tapi reputasi yang rusak dan hengkangnya pelanggan, betul-betul jadi pukulan telak buat perusahaan.

Bayangkan lagi bila sebuah negara yang bingung, betapa dahsyat dampaknya. Ambil contoh di negara kita saat ini. Ketika pemerintah sudah menetapkan paket kebijakan ekonomi sampai 12 paket, tapi rasanya masih belum "nendang", maka bisa jadi semakin sering dilakukan pembahasan antar instansi yang tentu saja boros waktu, tenaga, dan  uang. 

Atau contoh lain, saat jalur Brexit (Brebes Exit) sekitar sebelum lebaran tempo hari macet parah,  konon kendaraan tidak bergerak sepanjang 60 km, pihak-pihak terkait saling bingung sendiri dan sekaligus saling menyalahkan pihak lain. Gak jelas mana yang tanggung jawab instansi perhubungan, pekerjaan umum, pengelola jalan tol, polisi lalu lintas, atau mungkin masih ada instansi lain yang berkaitan.

Departemen Pertanian "berantem" dengan Departemen Perdagangan gara-gara harga pangan naik tidak terkendali. Vaksin palsu beredar ternyata sejak tahun 2003, menimbulkan kebingungan berjamaah yang lain lagi.

Kisruh PSSI mungkin belum akan berakhir bila La Nyala tidak menjadi tersangka. Fredi Budiman sebelum dieksekusi bercerita bahwa banyak pejabat tinggi yang menikmati bisnis haramnya. Pemda DKI membeli lahan yang sebetulnya punya pemda itu sendiri.

Terlalu banyak pihak yang seharusnya bertanggung jawab sama saja dengan tidak ada pihak yang bertanggung jawab. Bila berprestasi, semua pihak mengklaim merekalah yang membuat semua itu ada. Begitu menuai bencana, masing-masing mencuci tangan, lalu telunjuknya mengarah ke pihak lain.

Ternyata di level perusahaan maupun di level negara, problemnya sama saja. Organisasi dibuat membengkak agar semakin banyak formasi yang bisa diisi. Tapi problem siapa mengerjakan apa jadi tumpang tindih. Semakin lama problemnya terurai, semakin tinggi biayanya, dan tindakan koreksinya hanya tambal sulam semata. Betapa mahalnya biaya untuk kebingungan berjamaah.

Kalau sudah begini, tentu saja keputusan dari penanggung jawab akhir yang diharapkan mampu menuliskan resep obat yang tepat untuk penyakit yang sesungguhnya. Kalau di perusahaan, CEO-lah yang harus tegas. Sedangkan di level negara tentu RI-1. Meskipun bisa saja resep sudah ditulis, tapi pasien tidak tertib makan obat, alamat penyakit akan awet. Makanya pemantauan terhadap implementasi di lapangan juga tidak kalah penting.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun