Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Maaf Normatif dan Maaf Substantif

21 Juli 2016   08:12 Diperbarui: 21 Juli 2016   08:30 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usai sudah masa perayaan idul fitri tahun ini. Usai pula masa saling bermaaf-maafan diucapkan atau dituliskan secara formal. Setelah itu, seseorang baru minta maaf kalau ada konteks tertentu saja, itupun bagi yang menyadari kesalahannya pada orang lain.

Namun barangkali tidak banyak orang yang berinisiatif untuk meminta maaf atas kasus yang jelas.  Katakanlah, sekadar contoh, ketika terlibat dalam senggolan antar kendaraan di jalan raya, seseorang jarang mengakui kesalahannya sendiri dan lebih merasa orang lain lah yang salah. Karena orang lain itu juga tidak mengakui kesalahannya, jamak ditemui dua orang yang bertengkar hebat di jalan raya sehabis bersrempetan.

Tapi bukan berarti kata-kata maaf jadi hilang di luar periode lebaran. Justru untuk sesuatu yang kabur atau yang mengambang, ucapan tersebut lazim terlontar. Contoh, saat seorang pindah tugas ke kota lain, maka saat acara perpisahan di kantor, pasti terucap dari mulutnya:"mohon dibukakan pintu maaf atas semua kesalahan saya selama ini".

"Kesalahan saya selama ini", terasa sekali mengambangnya. Kesalahan yang mana? Kesannya hanya basa basi semata, persis permintaan mohon maaf lahir dan batin di saat lebaran. Antar dua orang teman se kantor yang pernah saling bertengkar hebat, permasalahannya belum akan tuntas hanya karena sepotong ucapan maaf dalam kata sambutan atau dalam tulisan pamitan di grup media sosial. Apalagi kesalahan dalam bentuk tindakan fraud  yang ditemukan auditor, tidak cukup hanya minta maaf lahir dan batin.

Saya pernah membaca artikel yang ditulis Herry Tjahjono di Kompas 12 Desember 2015 yang relevan dengan topik maaf-maafan ini. Judulnya pendek sekali: "Maaf". Waktu itu konteksnya lagi merebak kasus "papa minta saham", dan yang diberitakan minta saham tidak mau minta maaf kepada Presiden Jokowi yang dicatut namanya, karena tidak merasa bersalah. Oleh penulisnya, hal ini dianggap tipe pertama yakni orang yang bersalah tapi tak mau minta maaf.

Tipe kedua adalah orang yang bersalah, mau minta maaf tapi hanya bersifat normatif, tidak secara substansial. Ini terbukti dari kesalahan yang sama sering diulang lagi setelah minta maaf. Petugas pelayanan suatu instansi yang minta maaf atas mutu pelayanannya yang kurang memuaskan, adalah contoh yang seperti ini.

Permohonan maaf lahir batin saat lebaran pun atau saat pisah sambut di kantor juga rada mirip dengan tipe kedua ini. Adapun tipe ketiga, ini yang paling ideal, minta maaf yang substansial, bertobat, tidak mengulangi kesalahan. Ironisnya, tipe yang beginian amat langka terjadi pada masyarakat kita.

Adapun tipe keempat adalah orang yang telah lebih dahulu memaafkan pihak lain yang berbuat salah kepada dirinya, walaupun pihak lain itu tidak minta maaf. Itulah yang dilakukan Nelson Mandela, pahlawan hak asasi manusia dari Afrika Selatan yang senang memakai batik Indonesia ini.

Tipe keempat ini tingkatannya memang sudah di kelas yang jauh lebih tinggi. Meski tidak identik, namun ibarat di kelompok spiritual, sudah berkelas sufi. Tapi dalam tataran praktis sehari-hari, bagi orang kebanyakan, memaafkan terlebih dahulu orang yang menganiaya kita, belum tentu bisa menyadarkan pihak penganiaya itu. Bisa-bisa malah membuat mereka makin menjadi-jadi.

Nah, dengan empat tipe maaf tersebut di atas, sekiranya kita berbuat sebuah kesalahan (namanya juga manusia biasa, pasti tak luput dari berbuat salah), maka sebaiknya kita menerapkan pola mohon maaf yang bersifat substantif seperti tipe ketiga di atas. Terlalu sering minta maaf ke banyak orang, tapi hanya sebatas normatif seperti di tipe kedua, hanya akan dianggap angin lalu saja, tidak berbekas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun