Kompas Minggu (17/7) antara lain menurunkan tulisan tentang prediksi adanya 1,3 miliar ton makanan yang terbuang di seluruh dunia setiap tahun. Jumlah ini mencakup kasus terbuang mulai sejak di lahan, dalam transportasi, penyimpanan, di restoran, supermarket, juga di pasar segar, baik di negara maju maupun di negara berkembang.
Bila dihargai dengan nilai uang, 1,3 miliar ton tersebut senilai 680 miliar dollar AS sesuai hitung-hitungan Badan Pangan dan Pertanian (FAO), badan yang berada di bawah PBB. Adalah Massimo Bottura, chef terkenal dunia asal Italia yang lagi berkunjung ke Indonesia, yang sangat prihatin dengan kondisi tersebut.
Massimo akhirnya di bulan April 2016 lalu, mendirikan organisasi nonprofit Food for Soul, dengan misi utama mengatasi fenomena makanan terbuang dan mengalihkannya untuk kaum miskin. Untuk itu dibangun soup kitchen di beberapa negara berkembang untuk menampung bahan makanan yang terbuang.
Secara kasat mata, fenomena makanan terbuang sangat gampang terlihat di restoran-restoran kelas menengah ke atas dan di berbagai pesta atau event lain, juga bagi kelas menengah ke atas. Ajaran orang tua zaman dulu agar anak-anaknya menghabiskan makanan di piringnya, kalau tidak "berasnya akan menangis", sudah tidak mampan.
Barangkali ini memang sebagai dampak dari peningkatan pendapatan sebagian masyarakat. Ada pula yang pendapatannya tidak meningkat, tapi nafsu makannya ikut meniru kelas orang mampu. Akhirnya kebudayaan makan di luar rumah seperti di restoran atau food court di berbagai mal, tidak bisa dibendung lagi.
Sedangkan kreatifitas para pebisnis di bidang makanan juga meningkat pesat dengan promosi yang gencar. Tersedianya banyak pilihan makanan, baik tradisional maupun makanan asal negara asing, yang dikemas secara menarik, mendorong konsumen untuk menjajal berbagai jenis makanan itu tadi. Dengan ukuran perut yang ada batasnya, meski telah melar, membuat makanan sisa jadi menggunung.
Budaya sering merayakan sesuatu di restoran seperti ada yang ulang tahun, naik pangkat, lulus sekolah, dan sebagainya, ikut menyuburkan makanan yang terbuang. Soalnya mumpung ada yang mentraktir, kesempatan buat mencoba makanan yang aneh-aneh. Padahal ternyata tidak cocok dengan lidah, dan akhirnya terbuang tanpa rasa bersalah sedikitpun.Â
Lihat pula di pesta-pesta pernikahan. Jenis makanan juga tidak kalah banyak. Lagi-lagi para undangan tergoda untuk mencicipi berbagai makanan tersebut, meski sebetulnya sudah kenyang. Akibatnya gampang ditebak, sisa makanan teramat banyak. Hanya dicicipi barang dua atau tiga sendok, terus ditarok di tempat piring kotor.
Sudah begitu, orang tua sekarang cenderung membiarkan anak-anaknya jajan makanan dalam porsi besar atau banyak jenisnya. Kalaupun bersisa, juga dibiarkan saja oleh orang tua. Bila memasak di rumah pun, ibu-ibu menyediakan jumlah yang banyak, yang kalau tidak habis di hari itu, langsung jadi penghuni tong sampah, karena kalau dipanasin untuk dimakan besok, gak ada yang mau.Â
Heboh-heboh harga bahan makanan seperti daging sulit turun, tentu tidak terlepas dari perilaku di atas. Secara teori demand-supply, permintaan dari masyarakat tetap naik, padahal pasokannya terbatas, akibatnya harga melambung. Lahan pertanian untuk menghasilkan makanan semakin sempit, karena digusur perumahan, pabrik, dan sebagainya.
Tak ada jalan lain, harus ada gerakan yang masif untuk menghentikan pola makan yang mubazir tersebut. Bila dibiarkan, akan terjadi akumulasi dosa. Dosa kepada perut sendiri, karena banyak makan berarti mengundang penyakit. Dosa kepada alam yang dikuras demi produksi pangan. Dan terutama dosa pada kaum marjinal yang untuk mencari sesuap nasi saja amat sulit, tapi ada pihak lain yang membuang makanan.