Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Melarang Pendatang ke Jakarta, Bukan Resep yang Tepat

12 Juli 2016   20:00 Diperbarui: 12 Juli 2016   20:03 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya kutipkan berita Kompas hari ini (12/7) di halaman 26: "Kepala Disdukcapil DKI Jakarta Edison Sianturi, menjelaskan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berupaya menekan angka pendatang yang tidak berketrampilan dengan bekerja sama dengan Dinas Sosial dan Satpol PP DKI Jakarta untuk melakukan pemetaan dan penjaringan pendatang tidak berketrampilan. Upaya itu akan diikuti pemulangan pendatang ke daerah asal".

Kata-kata "tidak berketrampilan", menjadi bahan perenungan saya. Apa ukurannya? Apakah kalau pencari kerja berijazah formal, baik SMA, SMK, atau sarjana, bisa dianggap berketrampilan? Apakah kalau tidak berijazah, langsung dicap tidak trampil, meski bisa menjadi tukang batu atau petugas kebersihan? Sayang, sama sekali tidak ada penjelasan di berita yang saya baca.

Saya jadi teringat  beberapa teman yang sekarang sudah punya jabatan tinggi di Pemprov DKI Jakarta. Teman tersebut sama dengan saya, adalah orang daerah yang akhirnya menjadi warga ibukota. Bahkan mungkin pada awalnya saya merasa lebih beruntung. Saya yang tamat S1 di sebuah universitas negeri di Sumatera sudah mengajar di almamater. Hanya karena proses penerbitan SK PNS yang butuh waktu, di lain pihak ada iklan yang saya baca di koran Kompas tentang sebuah BUMN butuh staf, jadilah saya bolak balik ke Jakarta dalam rangka seleksi, yang akhirnya alhamdulillah  lulus.

Sedangkan teman lain yang kini jadi pejabat DKI tersebut betul-betul datang ke Jakarta sebagai pengangguran, sempat kerja serabutan, sebelum diterima sebagai PNS. Jadi maksud saya kalau ada pejabat pemda yang bilang orang daerah yang nganggur tolong jangan ke Jakarta, jangan-jangan mereka lupa dengan sejarah hidupnya sendiri, karena itu tadi, tidak sedikit yang memegang posisi saat ini, aslinya adalah orang daerah.

Ayo siapa sih yang bukan pendatang di Jakarta? Warga Betawi, mohon maaf tanpa bermaksud mengangkat isu SARA, minoritas di tanah leluhurnya sendiri. Bisa dikatakan semua profesi di ibukota, dikuasai orang asal daerah. Tidak saja pejabat pemerintahan, tapi juga pengusaha, artis, atlit, termasuk wartawan. Perintis lahirnya koran Kompas, koran nomor satu di Indonesia, adalah PK Ojong, orang Payakumbuh, Sumbar, yang dilanjutkan Jakob Oetama yang dari Yogyakarta.

Selagi ketimpangan pusat - daerah masih lebar seperti saat ini, atau selagi perputaran uang masih didominasi Jabodetabek, potret orang daerah mengerubungi pusat akan selalu terlihat. Diusirpun mereka akan datang lagi. Tapi bila ada pusat pertumbuhan baru, sementara "gula" di Jakarta menipis, tanpa dipaksa mereka akan hengkang.

Sebetulnya, meski tidak sedahsyat Jakarta, beberapa kota lain, juga punya pertumbuhan yang bagus. Tidak sedikit perantau yang mengadu nasib di Batam, Balikpapan, Surabaya, Bali, Makassar. Kita butuh makin banyak lagi sentra pertumbuhan, bahkan bukan hanya di daerah urban.

Saat tambang di Kaltim menggeliat, bertumbuhan daerah yang tadinya belum muncul di peta, sekarang menjadi kota seperti Bontang dan Sangata. Atau sentra perkebunan di Riau yang melahirkan kota baru Perawang, Pangkalan Kerinci, Ujung Batu, Bagan Batu, dan sebagainya. Masalahnya harga internasional sedang tidak berpihak pada produk tambang dan juga perkebunan kita. Makanya Jakarta kembali ditoleh.

Apalagi Jakarta dan perluasannya semakin menggila saja. Kota baru atau disebut juga kota mandiri bermekaran. Serpong, Karawaci, Sentul dan Cikarang, adalah contoh sukses. Sekarang juga akan dibangun Maja. Jadi, dengan sadar pemerintah memang menghendaki Jakarta yang semakin besar. Bisa-bisa nanti dari Serang sampai Karawang sudah menyatu. Namanya tidak lagi Jabodetabek, tapi Jabodetabeksekar.

Kenapa ide Presiden Soekarno untuk memindahkan ibukota ke Palangka Raya tidak dihidupkan lagi. Kalau saja ada keputusan politik untuk itu, sektor swasta pasti akan mendahului membangun, karena siapa yang masuk duluan akan menangguk untung. Memang akan mahal sekali biaya memindahkan ibukota. Tapi swasta hanya butuh kepastian, dan pembangunan bisa dimulai bertahap dalam jangka panjang. Jangan biarkan Pulau Jawa tenggelam.

Upaya lain yang potensial adalah menggenjot pariwisata besar-besaran. Bila saja jalur penerbangan langsung dari beberapa kota di Tiongkok ke Manado sukses membawa wisatawan, maka pola serupa bisa diterapkan ke Sorong (untuk obyek Raja Ampat), Balikpapan, Medan, Belitung, dan sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun