Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Murid Ngelunjak, Guru Urut Dada

9 Juli 2016   07:12 Diperbarui: 9 Juli 2016   07:33 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kebetulan saya punya beberapa orang saudara, saudara ipar, dan famili lainnya yang berprofesi sebagai guru. Ada yang guru SMP, SMA, ada juga guru SMK. Saat lebaran kemaren, karena yang ngumpul mayoritas adalah guru, maka topik pembicaraan lebih banyak di sekitar suka duka guru.

Saya yang bukan guru, lebih banyak menyimak saja. Tapi diam-diam curhatnya mereka saya catat poin-poinnya dan saya tuangkan dalam tulisan ini. Paling tidak, saya mengharapkan para pembaca, terutama yang mempunyai anak di bangku SMP atau SMA bisa memahami untuk terciptanya relasi yang sehat antara guru-murid-orang tua murid.

Begini, saya kira publik sudah tahu, akhir-akhir ini sering terjadi guru yang memarahi muridnya secara kebablasan (menurut kacamata murid). Ada yang menggunting paksa rambut murid. Ada yang mencubit, atau tindakan fisik lainnya. Si anak melapor ke orang tuanya. Lalu si orang tua melakukan pembalasan, termasuk membawa ke saluran hukum. Hal ini dari kacamata guru dianggap sebagai kriminalisasi terhadap guru.

Memang zaman sudah berbeda. Masyarakat semakin sadar dengan hak asasi. Dulu di era saya sekolah di akhir dekade 1970-an, saya banyak menemui guru yang seperti itu. Ada guru yang menggunting rambut murid, memotong kuku murid, dan ada yang memukul telapak tangan murid yang tidak membuat PR dengan penggaris. Dan itu tidak ada yang mempermasalahkan.

Sekarang sudah lain kondisinya. Anak-anak tidak lagi takut pada gurunya, malah (dari kaca mata guru) cenderung nglunjak. Guru harus lebih sering mengurut dada, melatih kesabaran. Anak membantah kata guru, menjadi biasa.

Anak-anak bahkan menganggap gurunya seperti teman, seperti terlihat dari cara berbicaranya  pada guru. Saat ditagih, mana PR-nya, si anak yang tidak membuat PR, enak saja menjawab: "sabar dikit kenapa sih bu?".

Ada anak yang tidak membawa buku wajib untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Lalu gurunya bertanya, "bukumu mana?". Si anak menjawab ketus: "ini buku saya" (sambil mengunjukkan buku tulis tipis). Pas gurunya bilang yang dimaksud bukan itu, si anak masih ngeyel, "lha tadi ibu nanya buku, ya ini kan buku?"

Ada pula anak yang berani mengirim sms ke gurunya bertanya hal yang dirahasiakan, seperti minta bocoran soal ujian, atau merayu minta nilai tinggi. Ada pula yang mengajak berkolaborasi, kalau nanti orang tuanya bertanya, tolong dijawab seperti maunya si murid. Bisa pula sebaliknya, berkolaborasi dengan orang tua. Contoh, si anak ingin main ke mal, lalu minta ibunya menelpon si guru minta izin anaknya untuk pulang cepat karena ada keperluan keluarga.

Program les dari beberapa lembaga bimbingan belajar dengan embel-embel "dijamin lulus", juga bisa membuat murid tidak lagi menganggap penting pelajaran sekolah. Kemudian juga program Kartu Jakarta Pintar yang memberikan bantuan keuangan pada murid, ada dampak negatifnya. Bila kucuran bantuan terlambat, murid melakukan protes dan menuding guru sengaja menahan-nahan.

Itulah beberapa curhat para guru. Saya sendiri, berkaca pada tiga orang anak remaja saya, yang juga berani membantah kata-kata saya, sangat memahami betapa terpukulnya guru bila omongan mereka di depan kelas dibantah murid. Apalagi bila dimarahi orang tua murid yang membela anaknya.

Makanya semua pihak rasanya perlu mengintrospeksi. Orang tua murid jangan terlalu cepat emosi menerima pengaduan anaknya. Meskipun zaman semakin maju, dunia semakin kecil, dan anak-anak gampang melihat bagaimana budaya barat mencontohkan seorang anak memanggil "you" pada guru dan orang tua,  di Indonesia unggah-ungguh tetap perlu, meski tidak harus seketat dulu.

Menurut saya, problem utamanya adalah miskomunikasi. Tata tertib sekolah harus lebih sering disosialisasikan, baik kepada murid, maupun bagi orang tuanya, dan ditegakkan secara disiplin. Termasuk pula dalam hal sopan santun, mungkin bisa dimasukkan pada pelajaran "Budi Pekerti" yang konon akan diintrodusir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun