Hari Senin 20 Juni 2016, saya berkesempatan menjajal perjalanan darat dari Bandar Lampung ke Liwa, Â ibu kota Kabupaten Lampung Barat. Saya mengambil rute jalur tengah lintas Sumatera melewati Bandarjaya, Kotabumi, Bukit Kemuning, lalu belok kiri menuju Liwa. Ada pilihan lain lewat jalur barat melewati Pringsewu dan Krui, lalu belok kanan ke Liwa, namun ini lebih jauh dengan jalan yang lebih sempit dan berliku-liku.
Saya meninggalkan sebuah hotel di Bandar Lampung jam 11.15 pagi. Sebelumnya saya masih sempat mengambil foto keindahan kota dari lantai 10 hotel tersebut. Lalu saya melewati pusat keramaian ibukota Provinsi Lampung yang terlihat tak kalah dengan kota besar di Jawa, dan 30 menit kemudian saya telah sampai ke batas kota dengan gerbang bercorak khas Lampung.
Jam 12.45 saya sudah memasuki kota Bandarjaya dan singgah untuk shalat jamak Zuhur dan Ashar di Masjid Istiqlal di tengah kota. Saya mengagumi kubahnya yang indah. Nama masjidnya sama dengan masjid terbesar di Indonesia yang berada di Jakarta. Perjalanan berlanjut lagi dan sampai di Kotabumi sekitar jam 14.00.Â
Setelah beristirahat sekitar 20 menit, perjalanan berlanjut ke kota tujuan akhir, Liwa. Sengaja saya memilih Liwa karena dari informasi yang saya peroleh, inilah satu-satunya kota berhawa sejuk di Lampung. Setelah sampai di Bukit Kemuning jam 15.05, belok kiri di pertigaan kota, maka tinggal lurus saja ke Liwa.
Meski jalannya tidak selebar lintas tengah, tapi relatif bagus dan mulus. Apalagi mata dimanjakan dengan pemandangan jejeran rumah panggung yang rapi dengan latar belakang gunung di sisi kiri. Rumah panggungnya berlantai dua, bagian bawah untuk menyimpan hasil bumi, sedangkan ruang utama ada di lantai atas yang terhubung dengan tangga langsung dari halaman depan.
Jam 17.00 saya sudah memasuki kota Liwa, kota kecil yang asri penuh bunga, tenang karena tidak banyak lalu lintas, dan tentu terasa nyaman. Liwa juga terkenal dengan kopinya. Sayang belum dipromosikan secara baik sehingga jarang dikunjungi wisatawan. Hotel pun amat sedikit, dan hanya sekadar hotel transit. Orang luar justru baru mengenal Liwa karena gempa bumi besar yang meluluhlantakkan kota ini dan memakan banyak korban jiwa lebih sepuluh tahun lalu.Â
Saya mempercepat perjalanan agar satu-satunya obyek wisata utama di sana, Danau Ranau, dapat saya lihat sebelum matahari terbenam. Dan alhamdulillah, bersamaan dengan kumandang azan magrib, saya minum seteguk air sambil menikmati sunset di Danau Ranau. Subhanallah, indah sekali. Tak sia-sia menghabiskan enam jam di perjalanan.
Mungkin karena relatif jauh, banyak orang Bandar Lampung sendiri lebih memilih berwisata ke Jakarta ketimbang ke Liwa. Makanya tidak ada trend orang kaya Bandar Lampung punya villa di Liwa, seperti orang Jakarta punya villa di Puncak. Bahkan meski suasananya relatif sama dengan Tangekon di Aceh, sama-sama berbunga, dingin, kopi, dan danau, Liwa tertinggal jauh, karena di Takengon sudah banyak hotel yang bagus.
Mudah-mudahan dinas pariwisata setempat punya kreatifitas untuk "menjual" Liwa, yang dijuluki kota di balik bukit karena ke arah barat, utara, dan timur, ada pebukitan.
[caption caption="Sunset di danau"][/caption]
[caption caption="Danau Ranau"]