Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menggali Cara Kreatif Belajar Agama untuk Remaja

17 Juni 2016   12:53 Diperbarui: 17 Juni 2016   12:55 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kalau anak sekolah minta tanda tangan artis atau atlit pujaannya, tentu merupakan hal yang biasa. Tapi kalau minta tanda tangan uztad sehabis berceramah di masjid, padahal uztad tersebut, mohon maaf, hanya kelas kampung, bukan uztad berstatus selebriti yang rutin tampil di televisi, maka itu pasti terkait dengan tugas dari gurunya.

Tapi itu kejadian sekitar belasan tahun yang lalu, saat metode seperti itu dianggap efektif untuk "memaksa" anak sekolah mendengarkan ceramah agama di masjid/mushala. Anak sekolah berbondong-bondong beribadah di masjid, dan saat uztad berceramah, mereka mengeluarkan buku catatan. Inti dari uraian uztad dicatat dalam satu halaman buku tulis, atau dicatat di buku khusus yang sudah ada kolom-kolomnya, yang dibagikan pihak sekolah.

Saat uztad selesai berceramah, dan sebahagian besar jamaah sudah meninggalkan masjid, anak-anak sekolah maju ke depan membawa buku dan minta tanda tangan uztad. Karena capek, biasanya uztad tidak sempat lagi memeriksa ringkasan ceramah yang ditulis anak-anak itu, sudah tepat atau belum. Dengan terburu-buru uztad langsung menandatangani di kolom yang telah disediakan.

Namun, jauh sebelum maraknya sekolah mewajibkan siswa/siswinya mendengar dan mencatat ceramah agama, guru agama saya saat sekolah di sebuah sekolah menengah kejuruan di Payakumbuh, Sumbar, di akhir dekade 1970-an, telah memulai cara sejenis, bahkan menurut saya lebih kreatif, praktis dan efektif.

Caranya adalah mewajibkan setiap siswa meringkas materi agama dari sumber mana saja, bisa ceramah uztad di masjid, ceramah di radio dan televisi, serta tulisan di koran. Jadi tidak perlu ada tanda tangan, hanya perlu ditulis nama penceramah, tempat, hari/tanggal dan jamnya. Kalau dari radio atau tv sebutkan nama program dan kapan disiarkan. Kalau dari koran / majalah tuliskan nama medianya, pengarangnya, edisi kapan dan di halaman berapa.

Saya termasuk rajin membuat ringkasan materi agama dari semua sumber terutama koran lokal yang dilangganani ayah saya serta acara Mimbar Jumat TVRI. Waktu itu TVRI adalah satu-satunya stasiun televisi dengan jam siaran dari sore sampai malam hari. Belum ada acara ceramah subuh semua televisi (apalagi di bulan puasa menjadi semakin marak) seperti sekarang ini.

Berdasarkan ingatan tersebutlah saya terpikir bahwa cara-cara seperti di atas, tentu dengan beberapa penyempurnaan, perlu diterapkan bagi anak sekolah saat ini. Bahkan kalau perlu digali cara yang sama sekali baru, karena semboyan anak sekarang adalah "anti mainstream", artinya mereka menolak cara konvensional seperti belajar dari paparan guru di depan kelas semata.

Memang kalau anak sekolah disuruh mencari materi dari berbagai situs internet dengan soal yang seragam, maka biasanya hanya satu orang yang aktif, yang lain copy paste. Tapi tetap cara ini bisa dipakai. Diacak saja satu atau dua siswa suruh ke depan kelas menjelaskan isinya. Akan ketahuan siapa yang mengcopy tanpa mempelajari. 

Yang lebih mantap kalau setiap anak diberi tugas yang berbeda, bisa individu, bisa dalam kelompok kecil. Siswa harus menuliskan opini atas materi yang didapatnya. Atau siswa disuruh merekam pakai hape masing-masing kejadian yang bernilai agama baik dalam konteks ibadah ritual maupun muamalah (hubungan sesama manusia). Gawai jangan dilarang tapi justru jadi sarana pembelajaran. 

Dengan demikian para remaja tidak melulu menggunakan gawainya untuk bermain game atau malah kecanduan situs pornografi. Perlu metode kreatif dengan bahasa anak gaul dan memanfaatkan sarana yang disukai mereka. Mengharap mereka berubah setelah diberi ceramah jelas belum cukup.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun