Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menengok Kampung Ayahanda dari Bung Hatta

11 September 2016   22:24 Diperbarui: 11 September 2016   22:58 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebetulan saya berkesempatan berkunjung ke Nagari Batuhampar, Kecamatan Akabiluru, Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatera Barat. Batuhampar sebagaimana banyak tempat pedesaan di Ranah Minang, punya pemandangan indah dengan perpaduan gunung, sungai, jalan raya berliku, dan hamparan sawah.

Tapi Batuhampar bukanlah destinasi wisata utama karena tidak punya obyek wisata unggulan. Namun bagi kalangan yang memahami sejarah perkembangan agama Islam di Sumbar, pasti memahami kontribusi Batuhampar yang melahirkan banyak buya besar, karena di sana ada semacam pusat pengkaderan buya-buya, yang dipelopori Buya Abdurrahman.

Siapa Buya Abdurrahman? Beliau adalah kakek dari pihak ayah proklomator Republik Indonesia Bung Hatta. Beliau mendirikan Surau Batuhampar, sedikit surau dari era tahun 1800-an yang masih bertahan, dengan beberapa kali renovasi. Ada menara di belakang surau yang sampai sekarang masih terpelihara.

Makam ayahanda Bung Hatta, Syekh Muhammad Jamil dan juga makam nenek dari pihak ayah Bung Hatta berada di komplek Surau Batuhampar. Saat ini ada pula pondok pesantren Almanar, sebagai pengembangan dari Surau Batuhampar.

Syekh Muhammad Jamil mewarisi ilmu tareket dari Buya Abdurrahman. Sampai sekarang setiap bulan puasa masih ada jamaah yang melakukan suluk, yakni berdiam di surau sebulan penuh, untuk beribadah. Konon selama suluk, tidak diperkenankan memakan makanan yang ada unsur daging ayam atau sapi.

Bung Hatta sendiri lahir di Bukittinggi, kota tempat asal ibunya Siti Saleha, 12 Agustus 1902. Saat lahir nama yang diberikan orang tuanya adalah Muhammad Athar. Athar diambil dari bahasa Arab yang berarti "harum". Namun kemudian nama beliau berubah jadi Muhammad Hatta, dan saat era perjuangan merebut kemerdekaan, akrab disapa dengan sebutan Bung Hatta. Bersama Bung Karno, beliau disebut sebagai dwi tunggal.

Membaca tulisan di batu nisan ayahanda Bung Hatta, terlihat informasi bahwa beliau meninggal 4 April 1903. Artinya saat Bung Hatta kecil masih berumur 8 bulan, sudah ditinggal bapaknya.

Berikut beberapa foto dari komplek Surau Batuhampar yang saya jepret pada hari Minggu, 11 September 2016.

[caption caption="Surau Batuhampar"][/caption]

[caption caption="Tempat pengkaderan buya-buya"]

[/caption]

[caption caption="Makam ayah Bung Hatta (kiri) dan nenek Bung Hatta (kanan)"]

[/caption]

*Foto Dokumen Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun