Kisah seorang polisi Bripka Seladi yang menjadi pemulung di luar waktu dinasnya, dan menolak pemberian dari orang-orang yang dibantunya mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM), karena menganggap semuanya sudah tugas, membuahkan apresiasi dari banyak pihak. Salah satunya adalah dari Ketua DPR Ade Komarudin yang kemaren (Senin 23/5) menyerahkan piagam penghargaan kepada Seladi.
Pada kesempatan penyerahan penghargaan di Gedung DPR-RI tersebut, Ade Komarudin mengingatkan Bripka Seladi yang sekarang adalah anggota Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Kota Malang, agar setia mengabdi pada pekerjaannya sebagai penegak hukum, meskipun kini sosoknya sudah dikenal publik. Â "Saya tidak mau beliau jadi seperti Briptu Norman yang malah keluar dari kedinasannya lalu jadi penyanyi," ujar Akom, sapaan akrab Ade Komaruddin sebagaimana diberitakan tempo.co.id.
Sebelumnya Kompas 20 Mei 2016 mengangkat profil Seladi dan juga banyak diberitakan media lain, termasuk rekan kompasiner Bambang Setyawan yang menulis "Menolak Suap Polisi ini Memilih Jadi Pemulung" dan menjadi salah satu headline Kompasiana beberapa hari yang lalu. Lalu publik pun terkesima, betapa kokohnya integritas seorang Seladi. Efek akumulasi publikasi menjadikan Seladi seperti seorang selebriti.
Apa jadinya bila Seladi tidak "ditemukan" wartawan, dan dugaan saya, bisa jadi ada banyak Seladi lain di seluruh penjuru nusantara. Tentu saja Seladi akan menjalani hari-harinya seperti biasa. Hanya saja tanpa publikasi membuat orang lain tidak mengetahui kisah yang menginspirasi ini.
Sangat mungkin tetangga Seladi dan beberapa rekan dinasnya tahu tentang keseharian Seladi. Bisa jadi ada yang kasihan. Bisa pula ada yang mencibir karena menilai tak layak seorang polisi merangkap jadi pemulung. Berkat publikasilah dengan angle yang tepat termasuk mengutip penjelasan dari Seladi sendiri, publik menyadari betapa mulianya prinsip yang dipakai Seladi. Maksudnya tanpa publikasi, bisa jadi ada banyak Seladi yang salah dimengerti oleh orang yang mengenalnya.
Oke kita menyebutnya sebagai kisah yang menginspirasi. Tapi belum tentu juga yang merasa terinspirasi lalu melakukan perbuatan yang sama nilainya, bukan untuk jadi pemulungnya, tapi untuk teguh tidak menerima pemberian terkait bidang tugasnya. Biasanya pembaca hanya berdecak kagum, terharu, lalu ada beberapa pihak  yang "mendompleng", dan setelah itu kehidupan berjalan  seperti biasa. Yang biasa terima suap ya tetap terima suap.
Inspirasi bila pula bersifat negatif. Melihat Seladi banyak menerima apresiasi, siapa tahu ada pegawai level bawah yang nyambil kerja lain, mungkin jadi  tukang angkut barang, pengojek, tukang parkir, atau berjualan di emperan jalan, yang merekayasa agar diliput wartawan. Yang beginian, niatnya yang harus diluruskan, dan wartawan yang berpengalaman akan mampu mendeteksi hal ini.
Nah dengan asumsi Seladi yang diliput wartawan hanya sebagian kecil dari semua Seladi yang ada, maka agar nilai-nilai positif dari semua Seladi bisa menjadi role model, tak bisa lain, atasan langsung di kantor harus mengetahui keseharian anak buahnya, mengetahui kondisi sosial ekonominya, dan mengetahui gaya hidupnya. Hal ini sekaligus juga untuk menemukan bila ada anak buah yang justru kebalikan dari Seladi, yang gaya hidupnya mewah padahal pangkatnya rendah.
Dalam birokrasi, atasan langsung dari pegawai level bawah biasa disebut kasubsie (kepala sub-seksi). Lazimnya, mengacu teori rentang kendali dalam ilmu manajemen, seseorang mampu mengontrol 4 sampai 8 orang anak buah. Jadi seorang kasubsie membawahi beberapa orang pegawai, lalu seorang kepala seksi membawahi beberapa kasubsie. Begitu seterusnya sampai ke atas. Seorang menteri tentu saja tidak tahu gaya hidup pegawainya di level bawah, tapi seharusnya mengetahui gaya hidup beberapa dirjen yang satu lapis di bawahnya.
Prinsip mengenal anak buah tersebut di atas dikembangkan dari prinsip mengenal nasabah (Know Your Customer = KYC) yang wajib di kalangan perbankan. KWC tujuannya adalah untuk mencegah tindakan pencucian uang. Bila ada nasabah yang bertransaksi dalam jumlah amat besar, perlu dianalisis apakah sesuai dengan profil pendapatannya. Bila nasabahnya seorang pegawai bergaji Rp 10 juta per bulan tiba-tiba dapat kiriman uang Rp 500 juta, maka perlu ada penjelasan dari mana asalnya dan untuk tujuan apa.
Karena di bank frekuensi fraud yang melibatkan orang dalam juga relatif sering, prinsip KWC dikembangkan pula dalam prinsip KYE (Know Your Employee), atau prinsip mengenal anak buah itu tadi. Jadi kalau seorang atasan diam-diam mendatangi rumah anak buah secara bergiliran setiap bulannya, itu bukan semata-mata untuk silaturahmi, tapi untuk KYE.
Anak buah yang hidup mewah jauh di atas daya beli dari gaji plus bonusnya, perlu didalami kemungkinan terlibat penyelewengan. Memang tidak boleh terlalu cepat menyimpulkan, karena bisa jadi ada pendapatan di luar dinas yang diterima anak buah, seperti hasil bisnis keluarga, warisan, hadiah, dan sebagainya.
Sebaliknya, anak buah yang hidup sangat sederhana belum tentu "bersih". Di sebuah bank besar pernah ada petugas level bawah bermain "kwitansi" sendirian, dan ketahuannya secara tidak sengaja. Atasannya tidak pernah curiga, karena gaya hidupnya sederhana. Pakaiannya  lecet, ke kantor naik motor butut. dan rumahnya kecil. Ternyata setelah kasusnya terkuak, rumahnya di kampungnya tergolong mewah plus kebun yang luas.
Kembali ke Seladi, maka meski tidak diliput wartawan, dengan KYE yang diterapkan berjenjang ke bawah, nilai-nilai positif dari seorang Seladi seharusnya tetap terpantau, dan paling tidak, bisa ditularkan ke lingkungan terdekatnya di Satlantas Polresta Malang. Lalu kalau bergerak lagi ke polres tetangganya Malang, lama-lama jadi gelombang dahsyat saat ada puluhan ribu atau ratusan ribu Seladi bersemi di segenap penjuru tanah air. Inilah revolusi mental dalam wujud nyata, bukan selalu berwacana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H