Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Bertanya (dan Berdoa) Sebelum Makan di Rumah Makan Padang

8 April 2016   09:53 Diperbarui: 8 April 2016   15:45 5106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber: foodabletv.com"][/caption]Tulisan Adi Bermasa yang menjadi headline Kompasiana beberapa hari yang lalu tentang pelancong dari Riau yang merasa dipalak ketika makan di Bukittinggi, mendapat tanggapan luas di media sosial, khususnya di grup para perantau asal Minang. Rata-rata bernada kecaman terhadap pedagang makanan yang menjadikan para pelancong dan perantau yang lagi pulang kampung sebagai sasaran empuk, dengan seenaknya memainkan harga.

Kabar terakhir, yang juga saya baca dari grup WhatsApp sesama perantau Minang, pemkot Bukittinggi telah mengumpulkan semua pedagang makanan di lokasi yang diberitakan. Sewaktu ditanya siapa pedagang yang mengenakan tarif Rp 600.000,- untuk tiga orang, tidak ada yang mengaku. Ya, tentu saja gak bakal ada yang mengaku.

Dari banyak komentar atas berita tersebut, ada juga yang berupa tips n trick, baik bagi pedagang maupun bagi pembeli. Bagi pedagang sudah saatnya transparan dengan harga yakni dengan menyediakan daftar menu yang sudah dilengkapi dengan harganya, baik yang tercetak atau yang ditulis di papan tulis.

Masalahnya pakem pelayanan di rumah makan Padang sejak dulu memang tidak mengenal daftar menu. Menunya ya semua yang dipajang bertumpuk-tumpuk di balik kaca di bagian depan rumah makan. Untunglah di beberapa rumah makan besar yang sudah memakai konsep waralaba, sudah tersedia standar harga, yang sayangnya baru ketahuan saat pelanggan melakukan pembayaran, yakni berupa strook rincian apa saja yang dimakan.

Bagi pembeli, kalau hanya untuk dua tiga orang lebih gampang tidak usah dihidangkan. Cukup dengan melihat dari kaca, lalu ngomong ke pelayannya agar lauknya, sekadar contoh, nasi rendang pakai sayur nangka dan sambal lado hijau. Yang seperti ini lebih jelas cara menghitungnya. 

Kalau pelanggan memilih untuk dihidangkan, memang terasa lebih nyaman dan terkesan sebagai "orang berduit". Nah, di sinilah muncul kecurigaan si pedagang mempermainkan harga. Jangan terjebak dengan tampilan rumah makan yang hanya kelas warung kecil. Justru di warung kecil tersebut ada beberapa yang "nakal".

Pelancong dari Riau atau Jakarta dulu punya citra sebagai senang belanja tanpa mengetahui standar harga, dan hal ini mungkin masih melekat di benak beberapa pedagang sampai sekarang. Padahal di era informasi yang sangat mudah menyebar, perilaku tidak terpuji dengan "memalak" pelanggan cepat sekali tersiar dan memukul balik para pedagang, termasuk pedagang yang tak bersalah.

Justru saya salut dengan beberapa rumah makan masakan Padang di Riau. Karena saya merasa standar harga di sana lebih tinggi dari di Sumbar (dalam pikiran saya beras dan lauk pauk di Riau didatangkan dari Sumbar), saya sudah siap-siap merogoh saku lebih dalam saat beberapa kali makan di Duri dan Dumai. Eh gak taunya harganya di bawah yang saya duga. Makan bertujuh tidak habis dua lembar Rp 100 ribuan. Padahal pakai metode dihidangkan.

Bagi konsumen yang memilih dihidangkan, perlu dicamkan untuk tidak mencuil atau mengambil sedikit dari lauk yang ada di sebuah piring. Ada rumah makan yang mengenakan tarif penuh terhadap lauk di piring yang terlihat telah "ternoda" karena diambil kuahnya atau sambalnya. 

Tidak perlu kapok untuk makan sewaktu berkunjung ke Sumbar. Hanya saja sebaiknya bertanya dulu ke teman atau yang mengantarkan, rumah makan mana yang bisa dipercaya, di samping enak tentunya.  Itupun perlu ditambah dengan tidak merasa gengsi untuk bertanya ke pelayan atau kasir sebelum memesan makanan. Cukup satu pertanyaan saja yang diajukan secara sekilas sambil bercanda, "Uni/Uda, kalau makan jo ayam bara kanai?" (Kalau makan dengan lauk ayam, kena berapa duit?)

Dari jawaban hanya ayam sebagai sampel, kita sudah bisa memperkirakan harga hidangan lain. Lauk telur, teri, sayuran, lazimnya di bawah harga ayam, sedangkan beberapa lauk lain seperti cincang, dendeng, kikil,  tidak beda jauh dengan ayam. Tapi ingat, memang ada yang standarnya mahal, jauh di atas harga ayam, seperti gulai kepala ikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun