Minggu pagi saya gak ngapa-ngapain selain leyeh-leyeh sambol nonton tivi. Beberapa stasiun tivi memutar acara wisata kuliner. Ada liputan dari sebuah warung kopi yang dirancang nyentrik. Tapi bukan interior atau exterior design-nya yang ingin saya bahas. Juga bukan menu yang disediakan.
Saya tertarik dengan tulisan harga di samping kanan daftar menu. Semuanya tertulis dalam "k". Contoh, secangkir kopi robusta di campur susu berharaga 25 k, maksudnya tentu Rp 25.000. Saya jadi teringat banyak brosur tentang harga murah di berbagai supermarket yang  tiga digit terakhir dicetak kecil seperti tanda pangkat dalam matematik.
Gambaran di atas bisa menjadi salah satu bukti bahwa di kalangan pebisnis, mereka meninginkan  kepraktisan dalam penulisan angka dalam rupiah dan cenderung mengabaikan angka ribuan. Bahkan kalau kita meneliti laporan keuangan perusahaan yang dipublikasikan di media masa, rata-rata menyajikan angka dalam jutaan rupiah, atau paling tidak dalam ribuan rupiah.
Kalau dipandang dari sisi itu, bisa dimengerti kenapa beberapa tahun yang lalu, Bank Indonesia pernah demikian bersemangat menggagas rencana redenominasi rupiah. Namun, karena menimbulkan polemik dan tidak sedikit yang menolak karena kekhawatiran memicu inflasi, maka rencana tersebut menjadi terhenti atau tidak terdengar lagi gaungnya.
Sekadar mengingatkan kembali, redenominasi adalah penyederhanaan penulisan nominal mata uang menjadi lebih simpel. Contoh Rp 10.000 ditulis Rp 10. Jadi, denominasi (pecahan) mata uang menjadi pecahan lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Â Penyederhanaan nilai uang secara bersamaan dilakukan juga pada harga-harga barang, sehingga secara teori, daya beli masyarakat tidak berubah.
Hanya saja mengacu pada negara yang telah sukses mengambil langkah ini, redenominasi harus dilakukan dalam keadaan ekonomi yang stabil dan sehat, dan sosialisasinya harus gencar dan dilakukan dengan pengawasan yang ketat terutama terhadap harga barang harian di pasar-pasar.
Jelas kalau kondisi sekarang sangat tidak memungkinkan, karena harga kebutuhan naik menggila. Tapi bila perekonomian stabil lagi, paling tidak, bila harga-harga tidak bergejolak dalam jangka waktu satu tahun, mungkin sudah saatnya dilakukan redenominasi.
Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa redenominasi sangat berbeda dengan sanering. Sanering adalah pemotongan nilai uang dalam kondisi perekonomian yang tidak sehat. Sanering merupakan pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang. Hal yang sama tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat menurun.
Mudah-mudahan tim lintas sektoral yang mempersiapkan redenominasi rupiah masih eksis dan mampu memberikan argumen yang valid bila memerlukan persetujuan dari DPR, sehingga ketika momen baik datang, bisa sukses diimplementasikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H