Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

BI Rate Turun Lagi, Penabung Kecil Perlu Mindset Baru

17 Maret 2016   19:35 Diperbarui: 17 Maret 2016   20:10 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru saja di banyak media online di kanal ekonomi, muncul berita bahwa Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan suku bunga acuannya, atau yang dikenal dengan BI Rate, menjadi 6,75%. Berarti dalam jangka waktu beberapa bulan, BI rate sudah  turun signifikan dari 7,75% ke 7,5%, berlanjut ke 7%, dan sekarang 6,75% per tahun.

Namun sekadar informasi saja, bukan untuk diperbandingkan, di beberapa negara Eropa dan kemudian diikuti oleh Jepang, saat ini bank sentralnya menerapkan suku bunga negatif alias minus. Artinya bank komersial di negara tersebut yang kelebihan likuiditas, dan menarok dananya di bank sentral, tidak mendapat imbalan, tapi justru memberi imbalan kepada bank sentral. Kondisi ini biasanya terjadi dalam keadaan tingkat inflasi yang sangat rendah atau bahkan deflasi.

Secara teoritis bank komersial akan kelebihan likuiditas bila jumlah dana yang dihimpunnya dari para penabung individu maupun institusi, lebih besar dari pada jumlah pinjaman yang diberikan bank kepada nasabahnya. Hal ini lazim terjadi saat bank tidak menggenjot penyaluran kredit, karena kredit yang sudah tersalurkan, banyak yang macet tingkat pengembaliannya, dan kondisi perekonomian secara umum lagi tidak kondusif.

Karena dana yang dihimpun bank tidak tersalurkan sebagai kredit, di lain pihak kalau kelebihan dana itu ditempatkan di bank sentral, bank yang menempatkan terkena beban bunga yang harus dibayar,  maka bank akhirnya juga nembebankan bunga bagi para penabungnya. Tentu hal ini sangat tidak menarik bagi yang mempunyai uang.

Dalam keadaan seperti itu, tidak mengherankan kalau dana dari negara maju kembali hinggap di negara berkembang yang masih memberikan bunga yang relatif tinggi bagi penyimpan dana. Sasarannya  termasuk Indonesia, yang meski sudah turun suku bunganya, tapi masih relatif tinggi. Makanya nilai mata uang rupiah yang di tahun lalu sempat melemah sampai di atas Rp 14.000 per 1 dollar AS, sekarang telah kembali menguat, relatif stabil di Rp 13.000-an.

Pertanyaannya, sekarang ini pemerintah sangat bernafsu menurunkan suku bunga kredit yang dibebankan bank bagi peminjam, yang tentu diawali dengan menurunkan suku bunga yang diberikan bank bagi penabung. Mungkinkah Indonesia akan menerapkan suku bunga negatif bagi penabung? Kalau soal mungkin, tentu mungkin-mungkin saja. Tapi amat sangat kecil kemungkinan itu.

Struktur dana yang dihimpun bank terdiri dari 3 kelompok, yakni Tabungan, Giro, dan Deposito. Sebetulnya untuk tabungan dan giro, saat ini bunganya sudah demikian rendah, khususnya bagi yang saldonya kecil, yang belum ratusan juta rupiah. Hanya sekitar 2% saja setahun. Pada dasarnya giro dan tabungan memang bukan untuk mencari bunga, tapi untuk digunakan bertransaksi, dan untuk berjaga-jaga.

Bayangkan kalau seorang penabung yang saldonya di bawah Rp 10 juta, bunga yang diterima setiap bulan tidak menutupi biaya administarsi bank yang berkisar Rp 10.000 sampai 20.000. Artinya secara net, sekarang pun sudah ada penabung yang uangnya malah minus setelah ditarok di bank.

Berbeda dengan deposito, yang secara nature, bisa dianggap sebagai investasi karena diniatkan bukan untuk dipakai sewaktu-waktu, sehingga suku bunga yang ditawarkan bank juga lebih tinggi. Namun saat ini pun pemerintah juga sudah menghimbau suku bunga deposito maksimal hanya sebesar suku bunga acuan Bank Indonesia, yang baru turun menjadi 6,75% seperti yang disinggung di awal tulisan ini. Bank pun sangat selektif memberikan bunga tertinggi hanya kepada deposan jumbo saja. Bagi deposan biasa, saat ini suku bunganya sekitar 5%.

Suku bunga 5% tersebut sebetulnya juga negatif secara riil, karena setelah dipotong pajak atas bunga, deposan terima bersih sebesar 4%. Coba hitung tingkat inflasi, bila di atas 4%, bukannya nilai uang yang disimpan jadi turun, karena daya belinya berkurang? Tapi kalo pemerintah dan BI berhasil mengendalikan inflasi menjadi di bawah 4% seperti akhir tahun 2015, maka nilai uang deposan masih terselamatkan.

Namun bagi penabung kecil, bukan pemegang depisito, tak bisa tidak, perlu mengubah titik pandang atau mindset-nya. Apalagi karena bank digiring untuk menurunkan bunga yang dibebankan pada peminjam, maka bank mencari kompensasi dari pendapatan fee based. Jangan heran kalau penabung mengambil uangnya sendiri melalui ATM akan terkena potongan. Bahkan konon ada bank yang membebankan biaya pada nasabahnya yang ngecek saldo di ATM.

Maksudnya sekarang ini nasabah perlu melihat bahwa ia telah dibantu bank untuk menyimpan uangnya secara aman dan juga diadministrasikan dengan rapi. Untuk itu nasabah harus mengikhlaskan ongkos penyimpanan dan pengadministrasian itu. Bila niatnya agar uangnya bertambah, ya pilihlah deposito. Memang kondisinya berat sekali bagi penabung gurem, tapi tendensinya kira-kira tidak terhindarkan akan seperti itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun