Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pola F to F dalam Perjodohan

16 Februari 2016   22:50 Diperbarui: 16 Februari 2016   23:00 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak terasa, keponakan saya yang berjumlah belasan orang, mayoritas perempuan, sebahagian besar telah menemukan jodohnya. Sesuai dengan adat di Minangkabau, tanggung jawab saya lumayan berat pada para keponakan, karena di sana berlaku pepatah "anak dipangku, kemenakan (=keponakan) dibimbing". Artinya, saya harus memastikan seorang keponakan berhasil menyelesaikan pendidikannya, memperoleh pekerjaan, dan berumah-tangga, dan semuanya dilakukan sesuai ketentuan agama dan adat.

Sungguh waktu berlalu demikian cepat. Rasanya baru kemaren sore, kalau saya pulang kampung ke Sumatera Barat saat lebaran, saya sangat menikmati asyiknya berkumpul dengan para ponakan yang masih kecil dan lucu yang datang dari berbagai tempat, sebahagian besar dari Riau, di samping ada yang tinggal di kampung. Sekarang posisi mereka, ada yang sudah punya anak 2 orang, punya 1 anak, baru akan punya anak, akan segera menikah, dan beberapa orang masih "mencari" jodoh.

Alhamdulillah, di bulan Februari ini ada dua ponakan perempuan saya yang melangsungkan akad nikah. Plong juga perasaan saya. Karena keduanya relatif alot dalam menemukan pendamping hidupnya. Yang satu sudah punya teman dekat yang konsisten sejak lama, karena si cowok adalah teman SMA-nya. Tapi baru sejak mereka hampir selesai kuliah di fakultas kedokteran di Padang, si cowok mulai diperkenalkan ke keluarga ponakan saya. Sampai mereka menjadi dokter pun, mereka masih dekat, dan mulai dirancang persiapan pernikahan.

Tapi apa mau dikata, ada perbedaan pendapat yang tajam dengan orang tua si cowok, membuat pernikahan yang sudah di depan mata, buyar. Si cowok seperti "anak mami" yang sangat diatur oleh maminya, yang memberi banyak persyaratan yang sulit dipenuhi bila menginginkan terlaksananya pernikahan.

Sempat down sekitar 1 tahun, akhirnya jodoh sang ponakan tidak jauh-jauh. Berkat gerilya keluarga, ada seorang PNS di salah satu pemkot di Sumbar yang baru selesai pendidikan S2 atas biaya dinas, yang setelah saling berkenalan beberapa bulan, rupanya ada kecocokan. Undangan pernikahan mereka sudah disebar untuk resepsi yang dijadwalkan minggu terakhir Februari ini.

O ya sebelum jadian sama yang PNS di atas, sebetulnya saya juga sudah berusaha menjadi mak comblang, tapi gagal. Saya sampai menginventarisir staf baru cowok di kantor saya yang belum punya pacar. Ada satu orang yang sudah saya perkenalkan ke ponakan saya yang dokter yang baru putus pacar tersebut. Namun ya kayanya memang gak jodoh. Mereka sudah saling punya nomor hp tapi komunikasi gak berlanjut. Ternyata saya tidak berbakat jadi mak comblang.

Adapun seorang ponakan perempuan saya yang juga menikah di pertengahan Februari ini, sangat saya syukuri akhirnya menemukan pasangannya. Soalnya ia punya usia yang sudah hampir kepala tiga, dan dunianya sebagai seorang guru honorer, kurang kondusif untuk bersosialisasi dengan lawan jenis yang bujangan. Akhirnya jaringan pertemanan dari keluarga yang ada di kampung bisa menjadi jembatan yang mempertemukan sang ponakan dengan calon yang sudah didekati pihak keluarga.

Kenapa semua anggota keluarga harus proaktif dalam urusan jodoh anak dan ponakannya, karena itulah kewajiban yang relatif berat, sehingga harus "digarap" ramai-ramai. Dan ini hal yang lazim di masyarakat Minang.

Rasanya kalau untuk membantu dalam urusan menyekolahkan dan mencarikan pekerjaan seorang keponakan, urusannya tidak terlalu rumit, dengan catatan tersedia dana penunjang di samping semangat si ponakan itu sendiri. Nah, dalam urusan jodoh, ini ngeri-ngeri sedap juga. Khususnya bagi keponakan yang perempuan, perlu ada usaha ekstra dari keluarga, bila ada yang sudah dewasa tapi masih lajang. Secara sosial, hal ini tidak nyaman, tidak saja buat si anak gadis, tapi juga bagi orang tua dan pamannya.

Makanya, para keponakan perempuan yang sudah selesai kuliah dan di awal merintis karir, harus dipantau secara saksama, seperti apa pergaulannya dengan teman lawan jenis. Apakah sudah punya teman dekat yang konsisten, atau teman dekatnya gonta-ganti, atau sama sekali tidak punya.

Bila sudah punya pacar yang usia kedekatannya lumayan lama yang dijalani secara konsisten, dan dari pandangan keluarga pilihan si ponakan telah cocok, ya tinggal diteruskan peningkatan statusnya alias dipercepat pernikahannya. Tapi bila menurut pandangan keluarga pilihan si ponakan tidak tepat, khususnya terkait karakter pacarnya yang tidak disukai, maka secara persuasif, harus dimusyawarahkan apakah solusi "memisahkan" mereka adalah jalan terbaik. Kalau ya, pendampingan psikologis pun perlu dilakukan agar ponakan tidak down, dan berani untuk bersosialisasi lagi agar bisa menemukan pasangan yang lebih baik akhlaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun