Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Teman-teman Tionghoa Saya

8 Februari 2016   18:07 Diperbarui: 8 Februari 2016   18:33 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungguh luar biasa, dari pemberitaan di televisi ternyata perayaan tahun baru Imlek, berlangsung di belahan dunia manapun. Artinya diaspora masyarakat Tionghoa juga menyebar ke segala penjuru.

Di kampung saya, Sumatera Barat, yang saya tahu ada "Kampung Cina" di Padang, Bukittinggi dan Payakumbuh. Di kota kelahiran saya, Payakumbuh, anak-anak Tionghoa bersekolah di SD Pius dan SMP Fidelis. Nah saat SMA bila mereka ingin ke sekolah swasta, mereka hijrah ke Padang masuk SMA Don Bosco. Di Payakumbuh ada beberapa SMA Negeri dan di akhir era 70-an baru ada satu SMA swasta yakni di SMA PGRI.

Praktis sampai di sekolah menengah saya tidak punya teman Tionghoa yang akrab. Soalnya tamat dari SMP Negeri saya masuk SMEA yang tidak ada anak Tionghoanya. Barulah saat kuliah tahun 1980-an di Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Padang, saya punya banyak teman Tionghoa. Bahkan sebagai mahasiswa jurusan akuntansi, ada beberapa dosen saya yang dari keturunan Tionghoa, salah satunya adalah Gaffar Salim, pionir dari dibukanya jurusan akuntansi di sana di bawah binaan jurusan akuntansi FEUI.

Bisa dikatakan semua teman-teman Tionghoa saya adalah mahasiswa yang rajin. Kalau mereka sudah memutuskan ikut kuliah, maka mereka tidak mau setengah-setengah. Bagi yang waktu SMA tidak begitu bagus prestasi belajarnya, mereka akan fokus berdagang seperti kebanyakan orang tua mereka. Ada satu orang yang sangat pintar, seingat saya namanya Osman Iskandar, hanya bertahan satu tahun, untuk kemudian kuliah di Selandia Baru. Ada info bahwa Osman sekarang berkarir sebagai akuntan di Amerika Serikat.

Teman Tionghoa saya satu angkatan kuliah yang paling akrab bernama Irwandi Tjuatja, tapi biasa dipanggil Kiat. Ia seorang gitaris top di kampus. Di Sabtu-Minggu ia sering manggung bersama bandnya yang bernama The Hunter. Saya pernah diajak bergabung ke kelompoknya di lomba vocal group saat kemping. Saya dipasang sebagai pemain bongo, sejenis gendang.  

Ada pula Hasanuddin yang pemain basket. Jangan terkecoh dengan namanya yang sangat islami. Kalau bukan pemeluk agama Budha, barangkali Kristen. Seperti Kiat yang asyik main musik, Hasan juga asyik olahraga, dan jadi ketua seksi olahraga di senat mahasiswa fakultas. 

Saat kuliah, yang punya kemampuan ekstrakarikuler seperti si Kiat sebagai pemain band atau Hasan sebagai pemain basket, pergaulannya amat luas, dan bahasa Minangnya fasih banget. Tapi yang hanya semata-mata serius belajar, memang ada kecendrungan bergaul sesama mereka dan satu dua teman yang bukan Tionghoa. Yang tipe begini bahasanya mirip kalau ada lawak-lawak di tv yang ada peran orang Tionghoa. Seperti begini: "Lu olang mau pigi mana?" (Kamu mau ke mana?). Seorang teman saya asli Minang, saking seringnya ngumpul bareng teman-teman Tionghoa, saat ngomong dengan teman lain pun aksen lu-guanya terbawa-bawa.

Toleransi mereka sangat tinggi. Saya pernah belajar di rumah mereka sebagaimana mereka pernah belajar di kosan saya. Saya pernah numpang shalat di rumah mereka, bersajadahkan kertas koran. Jadi saya merasakan berteman dengan mereka asyik-asyik saja.

Teman-teman Tionghoa saya setelah tamat kuliah, hampir semua bekerja di kantor akuntan publik, baik membuka kantor sendiri atau bergabung dengan akuntan lain. Salah satu yang paling sukses adalah Edy Kaslim yang punya kantor atas namanya sendiri di Jakarta. Banyak juniornya di kampus menjadi stafnya.

Saya sendiri berkarir di sebuah BUMN yang citranya lekat dengan melayani masyarakat menengah ke bawah, yang punya pekerja puluhan ribu, tapi etnis Tionghoanya sangat-sangat sedikit. Mungkin nol koma nol sekian persen. Tapi di angkatan saya kebetulan dari 35 sarjana fresh graduate, ada seorang keturunan Tionghoa Tanjung Pinang, alumni FHUI bernama Anna Maria Tjiadarma. 

Pemahaman saya bahwa teman-teman keturunan Tionghoa sebagai pembelajar yang serius tetap berlaku. Soalnya si Anna ini meski sarjana hukum, sewaktu pelatihan di awal karir, berlanjut saat on the job training, ia dengan cepat memahami akuntansi dan manajemen. Sekarang ia mengepalai sebuah divisi di kantor pusat.

Yang saya maksud pembelajar yang serius adalah tekun dan total dengan pilihannya. Artinya mereka bertanggung jawab dengan pilihan tersebut. Kalau jadi pegawai ia pegawai yang tekun. Kalau dosen, ia dosen yang berdedikasi tinggi. Dosen saya Gaffar Salim yang saya singgung di atas, sedikit pun tidak berkurang semangat mengajarnya meski pangkatnya entah kenapa lama sekali naiknya. Ada dosen saya lagi, yang juga keturunan Tionghoa, Sayuti Gazali, sangat bangga akhirnya bisa memakai seragam korpri, setelah empat tahun menunggu baru SK PNS-nya keluar. Artinya selama empat tahun beliau harus puas sebagai dosen honorer.

Kalau jadi pedagang, ia pedagang yang tekun juga. Konsisten menjaga mutu. Tidak mau mengelabui konsumen. Barang grade B memang dibilang B, sehingga pembeli puas. Kalau memilih jadi artis, ia jadi artis yang serius, seperti kerasnya perjuangan seorang Agnez Mo. Atau juga almarhum Teguh Karya yang begitu total mengembangkan perfilman kita. Apalagi kalau kita ngomongin olah raga. Masih terbayang isak tangis haru Susi Susanti saat Indonesia Raya berkumandang dan ia menerima medali emas Olimpiade Barcelona 1992 di nomor tunggal putri bulutangkis.

Di Padang sendiri, banyak etnis Tionghoa yang sukses berbisnis rumah makan, bukan dengan masakan Cina, tapi masakan Padang. Industri oleh-oleh khas Minang berupa kripik balado, yang paling top dibuat oleh Christin Hakim, juga etnis Tionghoa. 

PK Oyong, pendiri koran Kompas, adalah etnis Tionghoa kelahiran Payakumbuh. Tentu meski sudah lama meninggal dunia, PK Oyong meninggalkan warisan yang sangat berharga, kelompok bisnis Kompas-Gramedia, yang berbisnis dengan idealisme tinggi.

Jelaslah, banyak juga saudara kita etnis Tionghoa yang bukan pedagang. Tapi bidang apapun yang dipilihnya, mereka jalani dengan sungguh-sungguh. Tak ada yang dirahasiakan tentang kunci sukses saudara-saudara kita tersebut. Tak perlu dicemburui. Kuncinya jelas, silakan teladani ketekunannya, fokus pada satu bidang, dan konsisten, atau istilah di agama Islamnya istiqamah.

Kembali ke teman-teman Tionghoa saya semasa kuliah, saya mengucapkan selamat merayakan Imlek pada mereka semua, di manapun mereka berada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun