Apa jadinya kalau sutradara film serius semacam Garin Nugroho menggarap film cinta? Sebagai catatan, sutradara yang sering dapat penghargaan di berbagai festival ini, di dua film terakhirnya menelorkan film "Guru Bangsa Tjokroaminoto" dan "Soegija". Dua-duanya film dengan nuansa sejarah yang kental.
Mungkin banyak yang berpikiran, tumben, apa-apaan nih kok seorang maestro bikin film genit-genitan? Ya, setelah Teguh Karya tiada, rasanya Garin layak ditasbihkan sebagai maestro perfilman Indonesia saat ini. Makanya meski saya tidak tertarik dengan tema cinta remaja, akhirnya merasa perlu menonton film "Aach..Aku Jatuh Cinta" hanya karena ada nama besar Garin di belakangnya.
Film tersebut adalah kisah percintaan dengan pola "benci tapi rindu" Yulia (Pevita Pearce) dengan Rumi (Chicco Jerikho) yang tumbuh sejak kecil saat mereka bertetangga. Hubungan yang unik dengan perantara pesan tertulis yang dimasukkan dalam sebotol limun. Hubungan yang puitis dan dramatis karena Garin memang suka yang begitu seperti di film Cinta dalam Sepotong Roti, karya awal Garin di tahun 1991.
Hubungan Romeo dan Juliet versi Garin ini terjadi di rentang waktu 1970-an sampai 1990-an, ketika sejak SD, kemudian SMA, kuliah, dan menikah dengan orang lain. Tapi pernikahan tersebut hanya seumur beberapa jam saja, untuk akhirnya happy ending, Rumi dan Yulia bersatu kembali.
Perubahan gaya hidup dan hadirnya produk-produk konsumsi sepanjang era tersebut, Â ikut menjadi saksi cinta Rumi dan Yulia. Semua perubahan itu dicatat Yulia melalui buku hariannya, yang berlanjut menjadi adegan kilas balik. Selalu polanya seperti itu berulang-ulang.
Ada adegan kekerasan dalam rumah tangga dari ayah Rumi yang gampang main gampar, sehingga ibu Rumi minggat. Ayah Yulia juga meninggalkan istrinya begitu saja, sehingga ibu Yulia harus pontang panting membiayai kebutuhan rumah tangga. Contoh kehidupan orang tua mereka yang tidak bagus itulah yang membuat Rumi - Yulia saling menjauh, tapi kemudian saling mencari lagi.
Film ini memang bukan masterpiece-nya Garin. Apalagi kalau mengingat ada pengaruh film tahun 50-an "Tiga Dara" karya Usmar Ismail. Lagu-lagu Ismail Marzuki yang mewarnai film ini pun sebetulnya hits di tahun 1950-an, bukan 1970-an yang sudah dirajai Koes Plus.
Mungkin ini cara Garin menyiasati pasar, memancing selera penonton muda. Mungkin ini cara Garin mengedukasi anak muda kembali menyukai puisi, jangan tenggelam dalam bahasa ringkas dan gaul ala medsos. Mungkin pula Garin perlu refreshing mencari tema-tema yang belum digarapnya selama ini. Boleh juga sebagai hiburan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H