Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Teliti dan Hargai Uang Kertas Anda

4 Februari 2016   11:24 Diperbarui: 5 Februari 2016   11:29 836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Uang Republik Indonesia| Ilustrasi: Shutterstock"][/caption]Pernah mendengar cerita dialog antara uang kertas Rp 2.000 dengan uang kertas Rp 100.000? Intinya si 2.000 diledek oleh si 100.000 karena penampilannya selalu kucel, lusuh, bahkan robek. Padahal si 100.000-an merasa dirinya bersih, tampan dan mulus. Namun, si 100.000-an langsung terkena KO ketika si 2.000-an mengatakan keyakinannya akan masuk surga lantaran sering beredar di masjid, di panti asuhan, dan berbagai tempat yang bernilai religius lainnya. Sedangkan si 100.000-an sering beredar di lokasi yang menurut ajaran agama tidak benar, seperti jadi pemberian buat koruptor, di tempat dugem, dan sebagainya.

Yang ditembak oleh cerita di atas adalah semacam himbauan, mbok ya kalau menyumbang ke tempat ibadah jangan selalu pakai uang kecil. Tapi yang ingin dibahas melalui tulisan ini justru masalah uang lusuhnya. Saya ingin mengemukakan data bahwa yang 100.000-an pun banyak yang lusuh, meski tentu tidak sebanyak uang pecahan kecil. Mayoritas masyarakat kita masih serampangan memperlakukan uang kertas rupiah. Tapi begitu punya uang kertas asing, khususnya "si gondrong" dollar AS, dieman-eman setengah mati. Soalnya dollar yang kurang mulus dihargai lebih murah ketimbang yang mulus di money changer manapun di negara kita.

Data yang saya kutip dari koran Bisnis Indonesia dan juga Republika, 3 Februari 2016, memperlihatkan bahwa sepanjang tahun 2015 Bank Indonesia (BI) telah memusnahkan 5,92 milyar lembar uang kertas rupiah. Tentu yang dimusnahkan adalah uang kertas yang memenuhi kriteria "Uang Tidak Layak Edar (UTLE)".  Ada 1,86 miiyar lembar uang pecahan Rp 2.000 yang dimusnahkan, jauh lebih banyak ketimbang uang pecahan Rp 100.000 yang "hanya" 175,5 juta lembar.

Apa saja kriteria UTLE? Ada 3 kelompok, pertama yang bentuk fisiknya tidak berubah tapi dengan kondisi lusuh, berjamur, berminyak, terkena bahan kimia, atau ada coretan. Kedua, yang bentuk fisiknya berubah karena rusak akibat terbakar, robek, berlubang, mengerut, dan sebagainya. Ketiga, uang yang masih baik tapi berasal dari emisi atau cetakan tahun yang sudah sangat lama dan sudah ditarik atau dicabut dari peredaran.

Nah, hal di atas rasanya perlu diperhatikan oleh masyarakat. Meskipun kecendrungan penggunaan uang tunai sebagai alat transaksi mulai berkurang berkat menjamurnya cara online, tapi masih lebih banyak masyarakat yang menggunakannya, termasuk untuk disimpan di rumah dalam rangka berjaga-jaga. Untuk orang yang "makan gaji" bulanan, rata-rata pembayaran gaji sudah masuk ke rekening si pegawai di bank. Namun,  tidak sedikit pegawai yang saat gajian langsung mengambil sebagian besar gajinya melalui teller bank.

Bila dapat satu gepok uang kertas baru, tentu hal yang menyenangkan. Apalagi nomor serinya berurutan. Jadi bila hari ini butuh 3 lembar, maka menghitung sisanya gampang. Namun seringnya teller bank memberi segepok uang yang sudah tercampur, sebagian mungkin sudah mendekati kriteria UTLE. Maka, tidak ada salahnya bila punya waktu, meski mungkin dianggap "aneh"bagi yang melihat, saat sampai di rumah, segera lepas ikatan segepok uang itu tadi. Sortir dalam dua bagian, yakni yang UTLE atau mendekati UTLE dan yang masih layak.

Kriteria mendekati UTLE, contohnya bila ada robekan kecil, baik yang dilem atau tidak, yang ada coretan angka atau nama, bolong-bolong bekas di-stapler berkali-kali, bekas remasan atau bekas dikucek-kucek, ada noda tinta cetakan yang kentara, dan sebagainya. Yang UTLE-pun yang seharusnya bank tidak memberikan pada nasabahnya, sering pula si teller malas merapikannya agar bisa ditukar ke BI, hingga akhirnya beredar lagi. 

Jangan lupa meneliti tahun emisi atau saat dicetaknya uang kertas yang diterima. Seperti pecahan Rp 100.000, gambarnya sih sama saja yakni wajah Soekarno-Hatta di halaman depan, dan gedung MPR-DPR-DPD di halaman belakang. Namun tahun di kanan bawah halaman depan serta dua pejabat yang menanda tanganinya bisa berbeda.

Bila pecahan Rp 100.000 Anda emisi tahun 2004, meski masih berlaku, sebaiknya Anda masukkan ke kelompok yang mendekati UTLE, yang menjadi prioritas untuk segera digunakan. Jangan sampai terjadi seperti kisah seorang nenek di kampung yang merahasiakan menyimpan uangnya sedikit demi sedikit. Saat merasa sudah banyak, begitu mau digunakan, sudah tidak berlaku lagi. Bila ingin menyimpan untuk berjaga-jaga, simpanlah yang bukan UTLE dan bukan pula mendekati UTLE. 

Kalau uang UTLE Anda ditolak seorang pedagang, gak usah adu argumentasi, karena persepsi orang bisa berbeda-beda. Kecuali uang Anda tersebut adalah satu-satunya dan Anda sangat butuh barang yang dijual pedagang tersebut, Anda boleh juga menggertaknya, karena pada dasarnya UTLE sekalipun tetap secara hukum masih laku. Hanya saja, begitu UTLE masuk ke bank, maka akan masuk kelompok yang akan ditukarkan ke BI untuk dimusnahkan.

Bila UTLE Anda cukup banyak, kumpulkan saja untuk suatu saat ditukarkan ke BI. Bila di tempat Anda tidak ada BI, bisa diuruskan melalui bank yang ada. Syarat penukaran adalah harus uang asli, kalaupun rusak masih tersisa minimal 2/3, dan nomor serinya masih ada. Uang Anda akan diganti penuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun