Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jono: Habis Manis Sepah Dibuang?

2 Februari 2016   11:39 Diperbarui: 2 Februari 2016   11:59 1715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya bukan penggemar acara gosip seputar selebriti di tv. Tapi barusan secara tidak sengaja saya menonton acara tersebut. Pas mau ganti channel, karena selebriti yang dikupas adalah seorang Jono, saya tertarik mengikutinya. Jono, bukan orang Jawa. Dia asli Inggris kelahiran London 2 Januari 1980 dan berkarir di Indonesia sebagai pemain bas grup band yang saya sukai, Gugun Blues Shelter (GBS). Nama aslinya sebetulnya Jonathan Peter Armstrong.

Adalah takdir yang membuat Jono bermetamorfosa menjadi seperti sekarang, selebriti di negara yang amat jauh dari tanah kelahirannya. Awalnya, Jono ke Indonesia sebagai guru bahasa Inggris. Namun hobinya  melanglang buana ke berbagai daerah di Indonesia, mempertemukannya dengan perempuan Aceh, Fauziah Yatim. Jono menikahinya dan kemudian menjadi mualaf.

Lalu kok bisa jadi anak band? Kepada sebuah media online, Jono menceritakan, sejak kecil sudah punya bakat memainkan gitar dan bas. Kemampuannya itu dilihat oleh Gugun yang kemudian mengajaknya bergabung di grup GBS. "Waktu itu, dia mendatangi tempat saya mengajar. Dia mengajak untuk main musik. Saya mencobanya dan menemukan kecocokan", kata Jono.

Kisah Jono belum selesai. Dari acara info selebriti yang barusan saya tonton, disebutkan bahwa Jono dapat kejutan dari kekasihnya saat hari ulang tahunnya yang ke 36. Saya yang jarang mengikuti kiprah selebriti, terlambat mengetahui bahwa Jono sudah bercerai dengan perempuan Aceh yang telah memberinya beberapa orang anak. Ini tidak membuat saya kaget, karena sejak populer, Jono banyak dikelilingi cewek-cewek cakep.

Pembawaan Jono yang ramah, dan sangat memahami budaya Indonesia, serta ditunjang wajah tampannya, memang bagai magnet bagi kaum hawa yang gak mau tahu status Jono yang sudah beristri. Mohon maaf, kebetulan, secara fisik, penampilan mantan istri kurang "mengimbangi" Jono. Tapi pasti Fauziah punya banyak kelebihan lain yang membuat Jono, waktu belum ngetop dulu, kepincut.

Mungkin agak beda kali dengan contoh lain seperti Christian Gonzales, pesepakbola Uruguay yang telah dinaturalisasi. Gonzales karena bukan artis, mungkin tidak begitu banyak dikerubungi cewek-cewek, meski juga sudah menjadi public figure. Lagi pula Gonzales kemana-mana suka bawa istri dan anak-anak, sehingga sekaligus berfungsi sebagai "alat kontrol".

Yang agak membuat saya kaget, Jono juga sudah keluar dari band GBS. Dugaan saya, Jono mulai kebanyakan job di luar GBS, karena wajahnya sering nongol di berbagai stasiun televisi untuk acara di luar musik, seperti yang saya tahu adalah di acara travelling. Nah inilah yang menjadi bahan renungan saya. Bukannya Jono "dibesarkan" oleh GBS? Atau GBS jadi besar karena ada Jono? Maksud saya, apakah ini contoh yang tepat untuk membahas topik "habis manis sepah dibuang" atau "kacang lupa dengan kulitnya"?

Tapi, pepatah habis manis sepah dibuang, menurut saya debatable, tergantung dari sisi mana dilihatnya. Dari sisi Gugun, bisa jadi Jono dianggap sudah melupakan atau menomorduakan GBS, padahal tanpa Gugun, Jono mungkin masih seorang guru bahasa Inggris. Dari sisi Jono, bisa pula sebaliknya, karena keberadaan dia di GBS, maka penampilan GBS menjadi hebat, ada bule-nya, ada yang bikin lagu dengan syair Inggris-nya.

Dua-duanya bisa jadi betul, dan bisa jadi juga salah. Saya tidak berani menyimpulkan. Saya sendiri punya pengalaman mirip. Saya yang bekerja di sebuah BUMN, pernah dipindahkan dari Jakarta ke Denpasar. Karena saya butuh teman dari pada sendirian di rumah dinas, saya minta saudara sepupu dari kampung (Bukittinggi) yang saat itu lagi nganggur untuk menemani. Saudara ini saya biayai kursus di bidang kepariwisataan, biar betah di sana.

Dua tahun di Denpasar, saya dikembalikan ke kantor pusat di Jakarta. Saudara saya yang baru merintis karir di sebuah hotel di Kuta, terpaksa mencari tempat kos. Sekarang, belasan tahun setelah itu, saudara saya itu sudah lumayan punya posisi di sebuah hotel berbintang, masih di Kuta, dan tentu sudah punya rumah sendiri.

Namun saya sama sekali tidak berani mengklaim kalau tanpa saya, si saudara tidak akan berhasil. Toh dulu saya yang minta ia menemani saya, artinya saya yang dibantu. Bahwa di mata saudara tersebut, saya dianggap "berjasa" menyelematkan dia, itu soal lain. Prinsip saya, seorang yang berkilau, akan menemukan jalannya, untuk memancarkan cahaya. Cahaya itu tidak akan mampu dibendung. Kalaupun tidak bisa lewat jalan A, sang cahaya akan menerobos lewat jalan B. Jadi tidak bisa dibilang hanya karena A-lah, cahayanya terpancar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun