Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bayar SPP Pakai Beras Sekotak Korek Api

24 Juli 2015   20:52 Diperbarui: 24 Juli 2015   20:52 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun ajaran baru di tahun ini, kebetulan dimulai bertepatan dengan usainya libur lebaran. Pengeluaran masyarakat menjadi berlipat, ya belanja lebaran, ya belanja pakaian seragam dan buku sekolah. Namun bagi orang tua murid, khususnya di sekolah negeri, sekarang tidak lagi dipusingkan dengan berbagai pungutan. Bahkan, resminya tidak ada uang bulanan yang harus dibayar orang tua murid SD sampai SMA. Tapi dulu, sumbangan yang lazim disebut SPP atau Sumbangan Pembinaan Pendidikan pernah dibayar dalam beberapa bentuk.

Saat saya SD di era 1970-an, SPP dibayar dalam bentuk beras. Jumlahnya bebas, sehingga banyak yang hanya membayar beras sebanyak sekotak korek api. Paling hanya setara sesendok makan. Dengan kacamata sekarang, saya pikir itu jumlah yang terlalu sedikit. Seperti tidak ada niat untuk membayar. Tapi kalau saya ingat kembali kemampuan ekonomi masyarakat ketika itu, mungkin sekotak kecil beras sudah cukup berharga. Tidak semua orang punya beras cukup. Ada yang sarapan dengan bubur jagung.  Beras tersebut dimasukkan ke karung beras yang ada di ruang guru. Setelah terkumpul, saya tidak tahu apakah beras tersebut dijual atau tidak.

Saat saya SMP seingat saya baru muncul istilah SPP. Waktu itu besarnya SPP setiap bulan tergantung besarnya penghasilan orang tua. Jadi antar anak tentu beda-beda jumlahnya. Kemudian saat SMA besarnya SPP bulanan sama besarnya untuk setiap anak. Demikian juga saat saya kuliah di universitas negeri di tahun 80-an, SPP-nya sama besar. Hanya untuk kelompok eksakta sedikit lebih besar. Saya yang kuliah di Fakultas Ekonomi hanya membayar Rp 12.000 per 6 bulan. Angka yang kecil kalau dilihat dari kacamata sekarang. Tapi saat itu sekali makan di warung dengan menu nasi pake telor Rp 100, dan sekarang mungkin Rp 10 ribu, maka SPP tersebut setara Rp 1.200.000 sekarang. Relatif berat saat itu. Seingat saya ada beberapa teman saya yang terhenti kuliahnya di tengah jalan, antara lain karena tidak kuat bayar SPP.

Bagi yang hari Senin depan memulai kegiatan sekolah (kalau anak kuliah banyak yang baru mulai di bulan Agustus atau September), meski tidak lagi membayar SPP, jangan sampai memandang "murah" biaya pendidikan. 20 persen anggaran negara disedot oleh sektor pendidikan, yang kalau oleh murid atau siswa tidak dimanfaatkan semaksimal.mungkin, tentu menjadi mubazir.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun