Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nostalgia Pegawai Negeri saat Pemilu di Era Orde Baru

21 Maret 2014   21:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:39 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilu di era Orde Baru, berlangsung di tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Kecuali pada tahun 1971 yang diikuti 10 partai, pada pemilu lainnya hanya ada 3 partai, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar, barangkali merupakan satu-satunya di dunia yang bukan partai tapi ikut Pemilu), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Tak ada survey-survey seperti saat ini, karena memang tak ada gunanya. Tak perlu juga pengamat politik berbusa-busa ngomong di tv. Toh, semua sudah terang benderang, Golkar-lah sang pemenang.

Namun demikian tetap saja ada satu atau dua daerah yang Golkar tidak menang. Biasanya, partai lain bisa menang bila di daerah itu dipimpin oleh gubernur atau bupati yang punya hati nurani "netral". Di Jakarta, PPP pernah unggul saat Ali Sadikin jadi Gubernur. Tapi bisa dikatakan, rata-rata kepala daerah akan mati-matian berjuang, bagaimanapun caranya, agar di daerahnya Golkar menang dengan persentase setinggi mungkin, rata-rata di atas 80 persen. Ini merupakan prestasi yang menjamin karir kepala daerah di masa berikutnya.

Maka, bagi pegawai negeri, termasuk pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang saat itu masih bagian dari KORPRI=Korps Pegawai Republik Indonesia, tak ada yang berani untuk memilih selain Golkar. Apakah semua cinta Golkar? Barangkali tidak. Yang pasti, banyak dari mereka yang ketakutan, karena hari Pemilu bukan hari libur. Mereka memilih di kantor masing-masing, dan kalau di kantor tersebut setelah perhitungan suara ternyata ada satu atau dua suara untuk partai lain, maka mudah ditebak siapa yang punya suara. Biasanya pegawai yang "vokal", yang bandel atau yang depresi, akan dicurigai, dan menjadi sasaran pembinaan dari atasannya. Padahal, sebelum pemilu bagi semua pegawai telah dilakukan "santiaji", semacam pengarahan dari tokoh-tokoh Golkar. Lalu, masih belum yakin akan kesetiaan pegawai, diam-diam pada hari h-2 atau h-3 masing-masing pegawai dipanggil atasannya, ditanyai lagi komitmennya untuk memenangkan Golkar, bahkan di beberapa kantor yang punya dana, dikasih uang tali asih, atau uang transpor, atau apapun namanya.

Ya, enak-gak enak juga jadi pegawai di era orde baru. Enaknya, dapat tali asih. Cuma banyak pegawai yang bertengkar dengan orang tuanya, kakak atau adiknya, atau familinya yang fanatik partai tertentu. Di Sumatera Barat sebagai misal, dengan latar belakang mayoritas Islam dan Muhammadiyah, mereka sangat "mencintai" Masyumi (Pemilu 1955), berlanjut ke Parmusi (1971), dan PPP (Pemilu lainnya di era orde baru).

Itulah nostalgianya. Sekarang, jangankan pegawainya, kepala daerah saja berasal dari partai yang berbeda-beda. Satu hal yang pasti, pemilu di era reformasi penuh warna-warni.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun