Bisnis makanan konon tidak ada matinya. Warung makan menjamur tidak saja di kota besar, tapi sampai ke kota kecamatan. Makan di luar, seperti menjadi salah satu kebutuhan kita. Padahal, kalau mau sedikit capek dengan memasak sendiri, makan di rumah pasti jauh lebih hemat.
Bagi pelaku bisnis makanan kelas warung kecil, di samping faktor rasa dan kebersihan, masalah pelayanan masih kurang mendapat perhatian, sehingga bisa membuat pelanggan kapok untuk datang lagi. Itulah yang dulu pernah saya alami, saat kuliah di Padang, Sumatera Barat.
Sebagai anak kos dengan uang saku pas-pasan, saya jelas memesan makanan versi minimalis di warung makan yang ada dekat kosan saya. "Lapau Babe" nama warung makan tersebut. Sungguh laku, karena rasanya yang enak.
Suatu kali, komentar si Babe, julukan bagi yang punya warung, yang barangkali berniat bercanda, terasa amat menyakitkan saya. "Meja tigo, aia putiah sa embe" (air putih satu ember untuk pelanggan di meja nomor tiga ), teriak Babe ke anak buahnya setelah ia bertanya, saya mau pesan minum apa. Suaranya yang keras menggelegar membuat pengunjung lain sontak melihat ke arah saya. Oh, malunya hati ini. Pengunjung lain rata-rata mahasiswa berpunya yang makan dengan minuman teh telur, minuman favorit kala itu.
Sejak saat itu, saya hapus "Lapau Babe" dalam daftar tempat makan yang layak saya kunjungi. Saya terpaksa pidah ke warung lain, yang lebih kecil, lebih jauh juga dari kos saya, namun pemiliknya lebih bersahabat.
Jadi, bagi pelaku usaha warung makan kelas kecil, meski tidak punya pelayan yang berseragam, standar pelayanannya harus tetap diupayakan seperti standar di rumah makan kelas franchise. Tutur kata yang mengapresiasi kehadiran pelanggan, tanpa memandang jumlah atau jenis pesanannya, adalah salah satu hal yang perlu dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H