Politik uang harus diakui merupakan momok terbesar dalam setiap rekrutmen dan kompetisi politik, termasuk dalam pemilihan kepala daerah. Â Ini terjadi karena politik itu sendiri merupakan sebuah arena tawar-menawar.
Celakanya, tawar-menawar politik ini tidak didukung pertimbangan kompetensi dan visi misi calon. Sehingga, praktik politik uang menghilangkan munculnya pemimpin berkualitas dan tidak jarang menimbulkan gejolak yang mengganggu stabilitas tingkat lokal ditandai dengan pertikaian antar massa pendukung calon.
Ketiga, hoaks atau berita bohong. Statistik menunjukkan jumlah pengguna internet dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan, hal tersebut juga meningkatkan peningkatan penyebaran hoaks.
Tujuan dari pembuat dan penyebar hoaks adalah menggiring opini masyarakat dan kemudian membentuk persepsi yang salah terhadap suatu informasi yang sebenarnya.Â
Harus diakui bahwa media sosial merupakan tempat yang subur bagi munculnya informasi yang bersifat fitnah, hasutan, hoaks, dan sebagainya. Hal ini dapat terlihat jelas sejak pilgub 2012, pilpres 2014, pilgub 2017 dan mulai terlihat lagi tahun 2018 menjelang pilpres 2019.
Menurut hasil survey Mastel (Masyarakat Telematika Indonesia) penyebaran berita atau informasi yang berisi konten hoaks tertinggi berasal dari media sosial berupa, facebook sebesar 92,4%, aplikasi chatting (percakapan) sebesar 62,8%, Â dan situs web sebesar 34,9%.
Pilkada menjadikan rakyat sebagai aktor dominan dalam proses kandidasi lokal. Namun, belakangan muncul asumsi bahwa Pilkada hanya menjadi kesempatan untuk membeli suara rakyat, mendapatkan kekuasaan dan mengabaikan  masa depan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan.
Terhadap tantangan diatas jika diabaikan dapat mereduksi esensi pilkada dan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Dalam menghadapi tantangan di atas perlu kesadaran bahwa masa depan demokrasi di tingkat lokal dan kesuksesan event Pilkada yang sebentar lagi akan berlangsung merupakan tanggung jawab seluruh pihak (KPU, Bawaslu, Pemerintah Daerah, Partai Politik, Aparat Keamanan dan kelompok masyarakat).
Kemudian, partai politik peserta melalui kandidatnya mendorong pendidikan politik yang baik dengan tidak menjadikan money politics sebagai senjata pamungkas memenangkan kontestasi, tetapi dengan menawarkan gagasan baru dan harapan perbaikan kesejahteraan masyarakat.
Terakhir, penyelenggara pemilu beserta pemangku kepentingan lain harus menyasar kelompok masyarakat untuk memberikan literasi demokrasi sehingga masyarakat tidak reaktif, tapi mengedepankan nilai rasionalitas dalam menampung dan menyampaikan informasi yang diterima.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H