Setelah kekalahan Jepang dalam perang dunia kedua dan seiring pendudukan pasukan Sekutu diboncengi tentara NICA-Belanda (Netherlands-Indies Civil Administration, organisasi semi militer Belanda yang dibentuk pada 3 April 1944 dan bertugas mengembalikan pemerintahan sipil dan hukum pemerintah kolonial Hindia Belanda) di Indonesia, ia yang dulu dikenal sebagai aktivis pergerakan nasional kemudian ditangkap Belanda dan di bawa ke Papua atas dakwaan (juga) terlibat peristiwa heroik Merah Putih 14 Februari 1946 di Manado (Minahasa).
Ia lalu diserahkan oleh militer Belanda ke pengadilan penjahat-penjahat perang Jepang di Brisbane (Australia) untuk diadili, namun dibebaskan atas kesaksian yang meringankan dari bekas tawanan yang diinternir Jepang di Manado dan Tomohon yang menyebut bahwa ia bertanggungjawab atas kesehatan bekas tawanan itu. Hal ini serupa pendapat Harry Kawilarang (wartawan perang senior yang pernah bekerja di Harian Suara Pembaruan) pada seminar bertajuk "Sosok dan Perjuangan Tokoh Sumpah Pemuda: DR. Rumondor Cornelis Lefrand Senduk. Pejuang dan Pengabdi Kesehatan" yang digelar oleh Museum Sumpah Pemuda pada Selasa (22/9/2015) silam.
Menurut Harry Kawilarang, sebagai dikutip oleh laman resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (www.kebudayaan.kemdikbud.go.id), Dokter Senduk (Harry Kawilarang menyebutnya sebagai Dokter Rumondor) adalah seorang "Soldier of Fortune", yakni pada suatu peristiwa penangkapan penjahat perang, beliau sempat tertangkap dengan tuduhan sebagai pembunuh, namun beliau diselamatkan dengan kesaksian banyak serdadu Belanda yang bersaksi bahwa Dokter Rumondor bukanlah seorang pembunuh, tapi penyembuh dan penyelamat banyak orang (tentu termasuk tahanan-tahanan Jepang pada saat itu), Dokter Rumondor pun akhirnya dibebaskan.
Setelah kembali ke Indonesia, di tahun 1948 Dokter Senduk bersama Doktor G S S J Sam Ratulangi (Gubernur Sulawesi) di tangkap di Makassar oleh pemerintah pendudukan NICA-Belanda, yang mengakibatkan Doktor Sam Ratulangi kemudian di 'buang' ke Serui (Papua).
Barangkali agar tak lagi mempengaruhi tokoh-tokoh pergerakan di Minahasa, Dokter Senduk pun tidak diperbolehkan oleh NICA-Belanda untuk menetap di Minahasa. Ia dan keluarganya pun sempat pindah ke Kalimantan Timur (Tanjung Selor kemudian Balikpapan), dimana ia tetap melakukan profesinya sebagai dokter bedah.
Tahun 1950 bertemu keluarganya saat ia tiba di Makassar bersama-sama dengan pasukan TNI, sebagai dokter tentara dengan pangkat Letnan Kolonel (tituler). Ia ikut bertugas sebagai dokter tentara ketika TNI menumpas gerakan RMS di Maluku, kemudian ia menetap lagi di Jakarta dan berdinas di rumah sakit tentara (sekarang rumah sakit Gatot Subroto) sebagai perwira di dinas kesehatan TNI angkatan darat.
Dari Jakarta, ia pindah ke Palembang sampai pensiun di tahun 1958 dan terus mengemban tugasnya sebagai dokter ahli bedah. Dokter Senduk wafat di Malaysia pada bulan Desember 1961 dan dimakamkan di Telok Anson (Malaysia).
Bahwa beberapa catatan diatas untuk mengenang tokoh kita ini, semoga kedepan bisa terus bertambah lagi dengan munculnya catatan-catatan dari pemerhati sejarah atau bagi yang mau membagi referensinya. Semoga.
*Referensi :
- "Partisipasi Jong Celebes Dalam Kongres Pemuda Ke II (Dampak dan Pengaruhnya Pada Angkatan dan Generasi Berikutnya", handout Paul GRW Senduk, anak dari Dokter RCL Senduk pada Seminar Sosok dan Perjuangan Tokoh Sumpah Pemuda DR RCL Senduk, di Museum Nasional Jakarta, 22 September 2015.
- Berita : "Museum Sumpah Pemuda Gelar Seminar Tokoh DR. Rumondor Cornelis Lefrand Senduk" dari laman Â
- Sumber-sumber lainnya dari google.com
- Fotofoto : Dokumen
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H