Mohon tunggu...
Irwan Lalegit
Irwan Lalegit Mohon Tunggu... Konsultan - Nama Lengkap Saya: Irwan Gustaf Lalegit

ADVOKAT, Alumni Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

"Jangan Pernah Melupakan Aku" di Kota Bogor

15 Februari 2018   19:32 Diperbarui: 9 Maret 2018   03:21 1100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bunga Ganyong/Tasbih di Jalan Astrid KRB (Foto: Irwan Lalegit)

Seperti Kelapa Sawit (Elaeis guineensis) misalnya, ia yang asalnya sebagai tanaman di Afrika Barat, sejak 1848 turut dikembangbiakkan di KRB dan kemudian disebarkan ke seluruh Indonesia hingga saat ini.

Namun mulanya, sebagaimana tertulis di prasasti Batutulis, KRB merupakan bagian dari 'Samida' (hutan buatan atau taman buatan) sejak jaman Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi dari kerajaan Sunda yang konon memerintah di tahun 1474 hingga 1513. Sebagai hutan buatan, ia dimanfaatkan bagi keperluan menjaga kelestarian lingkungan dan tempat memelihara benih benih kayu yang langka, dimana kerajaan Sunda ini juga turut membangun Samida yang sama di perbatasan antara Bogor dan Cianjur yakni Hutan Ciung Wanara.

Tetapi, ketika kerajaan Sunda (Padjadjaran) takluk dari kesultanan Banten, Samida ini barangkali dibiarkan tak terawat sampai Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda waktu itu (1816--1826), membangun rumah peristirahatan di salah satu sudutnya lalu meresmikannya menjadi kebun raya.

Van der Capellen, begitu dia disapa, juga membentuk Departemen Pertanian, Seni, dan Ilmu Pengetahuan untuk Pulau Jawa, termasuk menugaskan Profesor Reinwardt sebagai direkturnya yang pertama dan meresmikan pemanfaatan KRB dengan nama 's Lands Plantentuin te Buitenzorg.

Memang, sebelum van der Capellen dan Reinwardt menetapkan KRB, Thomas Stamford Bingley Raffles--Letnan Gubernur Inggris di Hindia-Belanda (1811--1816) yang pernah mendiami istana Bogor dan memiliki minat besar dalam pengembangan ilmu botani, sebenarnya telah merintis pendirian KRB itu.

Di halaman istana Bogor dia membuat kebun yang jelita dan konon demi kesembuhan isterinya yang sakit saat itu. 'Disulapnyalah' halaman istana itu menjadi taman bergaya Inggris klasik, hingga kita disaat ini tak pernah menyangka bahwa dari 'sulapan'-nya pada dua abad yang telah silam itu, KRB kini telah mencuri perhatian wisatawan mancanegara bahkan pemimpin negara-negara sahabat untuk berduyun-duyun mengunjungi kota Bogor.

Monumen Reinwardt, Pendiri KRB. (Foto: Irwan Lalegit)
Monumen Reinwardt, Pendiri KRB. (Foto: Irwan Lalegit)
Kedua, ayo kita ke Istana Bogor. Sebelum bergaya arsitektur Eropa abad ke-19 pada renovasi tahun 1850, ia dibangun oleh Gustaaf Willem baron van Imhoff, Gubernur Jenderal penguasa Hindia-Belanda pada 1745 hingga 1750 dengan mencontoh arsitektur Blehheim Palace (kediaman Duke Malborough di Oxford Inggris). Fungsinya sebagai rumah peristirahatan dan kemudian berturut-turut menjadi kediaman resmi para Gubernur Jenderal sejak 1870 serta diberi nama Belanda "Buitenzorg" atau diluar kekhawatiran, atau artinya mungkin "bebas masalah atau kesulitan".

Kini, ia merupakan salah satu dari enam Istana Presiden Republik Indonesia dengan keunikan tersendiri tersebab nilai historisnya, persilangan kebudayaan, ragam koleksi seninya dan flora-fauna yang ada disekitarnya seperti keberadaan rusa-rusa yang didatangkan tahun 1808 langsung dari Nepal, negara kecil yang terletak di atap dunia "pegunungan Himalaya".

Ia pun jadi saksi bahwa dinamika politik pemerintahan dan keamanan di seluruh negeri Indonesia dapat dikendalikan dari sebuah ruangan kerja kecil di gedung yang pada 11 Maret 1966, Presiden kita saat itu Bung Karno, disaksikan tiga perwira tinggi TNI Angkatan Darat (Brigjen M Yusuf, Brigjen Amir Machmud, dan Brigjen Basuki Rahmat) menandatangani sebuah surat yang kontroversial sebagai Surat Perintah Sebelas Maret "Supersemar" yang menandai berkuasanya rezim Orde Baru pimpinan Jenderal Soeharto.

Istana Bogor dilihat dari KRB (Foto: Irwan Lalegit)
Istana Bogor dilihat dari KRB (Foto: Irwan Lalegit)
Ketiga, ayo kita masuki KRB yang mengoleksi sekira 15 ribu spesies tanaman untuk menemukan tugu "Jangan Pernah Melupakan Aku". Melalui pintu nomor tiga di sisi timur, disitu kita akan menemukan jalan Astrid. Ia menjadi jalan kenangan dan kini monumen sejarah pertalian diplomasi antara Indonesia dan kerajaan Belgia dari benua Eropa.

Jalan ini rupanya dinamai "Astrid" karena sejatinya untuk mengenang kunjungan Ratu Belgia, Putri Astrid atau "Astrid of Sweden" di tahun 1928. Maka tak heran, sepanjang jalan ini pun ditanami bunga Ganyong atau Tasbih atau Flower Bed (tanaman Canna Lily) nan menawan mata karena memiliki kelopak berwarna hitam, kuning dan merah, seperti warna bendera Belgia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun