Seperti Kelapa Sawit (Elaeis guineensis) misalnya, ia yang asalnya sebagai tanaman di Afrika Barat, sejak 1848 turut dikembangbiakkan di KRB dan kemudian disebarkan ke seluruh Indonesia hingga saat ini.
Namun mulanya, sebagaimana tertulis di prasasti Batutulis, KRB merupakan bagian dari 'Samida' (hutan buatan atau taman buatan) sejak jaman Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi dari kerajaan Sunda yang konon memerintah di tahun 1474 hingga 1513. Sebagai hutan buatan, ia dimanfaatkan bagi keperluan menjaga kelestarian lingkungan dan tempat memelihara benih benih kayu yang langka, dimana kerajaan Sunda ini juga turut membangun Samida yang sama di perbatasan antara Bogor dan Cianjur yakni Hutan Ciung Wanara.
Tetapi, ketika kerajaan Sunda (Padjadjaran) takluk dari kesultanan Banten, Samida ini barangkali dibiarkan tak terawat sampai Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda waktu itu (1816--1826), membangun rumah peristirahatan di salah satu sudutnya lalu meresmikannya menjadi kebun raya.
Van der Capellen, begitu dia disapa, juga membentuk Departemen Pertanian, Seni, dan Ilmu Pengetahuan untuk Pulau Jawa, termasuk menugaskan Profesor Reinwardt sebagai direkturnya yang pertama dan meresmikan pemanfaatan KRB dengan nama 's Lands Plantentuin te Buitenzorg.
Memang, sebelum van der Capellen dan Reinwardt menetapkan KRB, Thomas Stamford Bingley Raffles--Letnan Gubernur Inggris di Hindia-Belanda (1811--1816) yang pernah mendiami istana Bogor dan memiliki minat besar dalam pengembangan ilmu botani, sebenarnya telah merintis pendirian KRB itu.
Di halaman istana Bogor dia membuat kebun yang jelita dan konon demi kesembuhan isterinya yang sakit saat itu. 'Disulapnyalah' halaman istana itu menjadi taman bergaya Inggris klasik, hingga kita disaat ini tak pernah menyangka bahwa dari 'sulapan'-nya pada dua abad yang telah silam itu, KRB kini telah mencuri perhatian wisatawan mancanegara bahkan pemimpin negara-negara sahabat untuk berduyun-duyun mengunjungi kota Bogor.
Kini, ia merupakan salah satu dari enam Istana Presiden Republik Indonesia dengan keunikan tersendiri tersebab nilai historisnya, persilangan kebudayaan, ragam koleksi seninya dan flora-fauna yang ada disekitarnya seperti keberadaan rusa-rusa yang didatangkan tahun 1808 langsung dari Nepal, negara kecil yang terletak di atap dunia "pegunungan Himalaya".
Ia pun jadi saksi bahwa dinamika politik pemerintahan dan keamanan di seluruh negeri Indonesia dapat dikendalikan dari sebuah ruangan kerja kecil di gedung yang pada 11 Maret 1966, Presiden kita saat itu Bung Karno, disaksikan tiga perwira tinggi TNI Angkatan Darat (Brigjen M Yusuf, Brigjen Amir Machmud, dan Brigjen Basuki Rahmat) menandatangani sebuah surat yang kontroversial sebagai Surat Perintah Sebelas Maret "Supersemar" yang menandai berkuasanya rezim Orde Baru pimpinan Jenderal Soeharto.
Jalan ini rupanya dinamai "Astrid" karena sejatinya untuk mengenang kunjungan Ratu Belgia, Putri Astrid atau "Astrid of Sweden" di tahun 1928. Maka tak heran, sepanjang jalan ini pun ditanami bunga Ganyong atau Tasbih atau Flower Bed (tanaman Canna Lily) nan menawan mata karena memiliki kelopak berwarna hitam, kuning dan merah, seperti warna bendera Belgia.