Ketika dini hari tetiba di desa Pekon, kami harus menunggu sekitar 30 menit hingga perahu-perahu jukung bercadik datang menjemput untuk menyeberangkan kami ke penginapan pantai di depan pulau Kiluan.
Sepuluh menit melewati laut, kami pun tiba di penginapan. Udara segar dini hari, cuaca cerah dengan langit bertabur bintang dan wajah bulan menuju sabit, suara ombak kecil yang kontras dengan suara satwa liar, serta suasana malam yang khas pedesaan menyambut hangat kedatangan kami. Rasa penat perjalanan pun lunas terbayar dengan nuansa alami seperti itu.
Usai pembagian kamar, beberapa diantara kami langsung tidur dan mendengkur. Tapi ketika kantuk belum mengajak mata saya untuk terpejam, Pak Widiantara menawarkan kopi hitam panas dengan penganan kue kering dan kacang yang dibawa dari Jakarta. Saya dan beberapa rekan seperti Bung Zamhar pun langsung terlibat diskusi kecil menyeruput kopi, dan diam-diam berencana menghabiskan penganannya. Padahal hanya tersisa dua jam lagi sebelum jam tujuh pagi diwajibkan kumpul untuk sarapan, dan lalu menaiki jukung-jukung bercadik-bermesin tempel untuk mengejar lumba-lumba.
30 menit berdiskusi, kami sepakat beranjak tidur menghabiskan waktu sejam lebih dan bangun tepat jam tujuh pagi. Usai sarapan, kami pun langsung menaiki jukung yang sudah ditentukan.
Tiap jukung diisi dua hingga empat orang penumpang dengan jaket pelampung masing-masing. Jukung yang saya tumpangi diisi empat orang termasuk sang pengemudi. Jukungnya kami pun melaju beriringan menuju selatan ke arah teluk yang agak luas, dan ternyata semakin ramai dengan iring-iringan jukung, karena selain rombongan kami, rombongan wisatawan-wisatawan lainnya pun ikut bergabung.
Sekitar 65 jukung ikut meramaikan pencarian Lumba-lumba kali itu. Berpencar-pencar, lalu menuju kearah teriakan keriangan para penumpang jukung yang kebetulan beruntung bertemu pertama kali dengan sekawanan lumba-lumba. Derunya suara mesin jukung yang berusaha cepat mendekati permainan akrobatik lumba-lumba, ditambah ributnya teriakan-teriakan: “itu lumba-lumbanya…”, “dimana…dimana…lumba-lumbanya??”, “disana-disana….”, “ayo kejar…”, “foto-foto…”, “rekam…rekam…”, “hoi….selfie…selfie…”, “itu..itu…mereka”, “awas tabrakan….!!!”, wow…..semakin menambah semaraknya ‘lomba berpacu’ mengejar lumba-lumba saat itu.
Mengejar lumba-lumba atau bisa berfoto dengan mereka (lumba-lumba) di jarak yang paling dekat, tentu jadi pengalaman tak terlupakan bagi yang baru pertama kali melihat lumba-lumba liar di alamnya.
Tontonan akrobatik dari sang lumba-lumba yang lucu, gesit, lincah, dan genit di teluk Kiluan adalah tantangan tersendiri bagi yang menyenangi petualangan laut yang seru. Sebab bertemu dengan lumba-lumba secara langsung di habitatnya, tentu wajib mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit, juga kekuatiran akan mabuk laut bagi yang belum terbiasa dengan irama ombak, atau terbakarnya kulit muka, tangan dan kaki bagi perempuan cantik akibat sinar mentari pagi yang kering dan mulai terik.
Tapi saya pikir, kenang-kenangan mengejar lumba-lumba di teluk Kiluan tentu akan jadi pelajaran hidup paling berharga, bagi mereka yang sedia memaknainya dalam kehidupan rutinitas kantoran di Jakarta. Bahwa ada saatnya kita perlu rihat sejenak meninggalkan ritme kesibukan untuk menyatu dengan alam, agar kita selalu ingat-menyadari adanya kemahakuasaan Ilahi.