Mohon tunggu...
Irwan Lalegit
Irwan Lalegit Mohon Tunggu... Konsultan - Nama Lengkap Saya: Irwan Gustaf Lalegit

ADVOKAT, Alumni Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenang Jean Henry Dunant

8 Mei 2016   13:39 Diperbarui: 20 Mei 2016   17:37 1820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jean Henry Dunant, Pendiri Gerakan Palang Merah Internasional (Foto: Istimewa)


Andai tak pernah ada pertempuran mengerikan di Solferino tanggal 24 Juni 1859 dan buku "Un Souvenir de Solferino" atau “a Memory of Solferino atau “Kenangan dari Solferino”, tentu catatan sejarah bantuan kemanusiaan modern dan organisasi kemanusiaan terbesar di dunia "Palang Merah dan Bulan Sabit Merah" mungkin akan berkata lain.

Ya di Solferino, sebuah pedesaan (waktu itu) di Italia bagian utara, gabungan balatentara Perancis dan Sardinia bertempur melawan pasukan Austria. Pada petang harinya, hampir 40.000 prajurit tergeletak tewas atau terluka tanpa perawatan. Dinas kesehatan militer kedua pihak pun kewalahan dan mereka tak punya perlindungan khusus.
 Jean Henry Dunant, seorang pengusaha dan warga negara Swiss, tiba di Solferino pada malam tanggal 24 Juni 1859 disaat pertempuran dahsyat itu telah terjadi.

Melihat puluhan ribu tentara mati dan terluka, sementara personil medis militer kewalahan merawat, mengobati mereka yang terluka, serta obat-obatan yang tidak lengkap dan mencukupi, Henry Dunant menghentikan keinginannya untuk bertemu kaisar Napoleon III dalam urusan bisnis. Dia mulai membantu para korban, dia mengorganisir pertolongan pertama. 

Menurut buku "Un Souvenir de Solferino" yang ditulis Dunant, korban yang tewas atau terluka ada tiga Marsekal, sembilan Jenderal, 1.566 Opsir dari segala tingkatan dan kurang lebih 40.000 Bintara dan Prajurit. Yang mati dalam jangka waktu 15 jam sebanyak 38.000 orang, kebanyakan mati karena tidak mendapatkan pertolongan atau pengobatan pada waktunya atau karena kurangnya perawatan.

Mencermati situasi dan kondisi pada waktu itu, Dunant merasa ngeri dan tergetar hatinya akan begitu banyaknya korban, sehingga dia mengajak penduduk setempat, terutama perempuan, untuk merawat semua korban yang terluka, mencatat hal-hal yang penting dari korban, atau menguburkan yang wafat. Dia pun berhasil meyakinkan mereka (penduduk) untuk menolong semua korban tanpa diskriminasi. Kata-kata bijak yang dikatakannya waktu itu yaitu, "Dalam Penderitaan, Kita Semua Saudara"--Siamo Tutti Fratelli!, Dunant berhasil menggugah rasa kemanusiaan mereka.

Meski perang Solferino telah berakhir, namun kenang-kenangan saat menolong korban pertempuran disana terus membekas dalam ingatan humanisnya Dunant. Dia tidak begitu saja melupakan tragedi kemanusiaan itu. Benaknya dipenuhi visi untuk kebaikan umat manusia di masa depan, maka dia menulis buku “Un Souvenir de Solferino” yang terbit di tahun 1862.

Bukunya mengemparkan dunia kala itu, namun ada yang lebih penting disana. Gagasan cemerlangnya lahir untuk misi kemanusiaan yaitu pertama, perlunya membentuk organisasi sukarelawan yang disiakan pada masa damai untuk menolong para prajurit yang terluka di medan perang, dan kedua, perlunya suatu perjanjian internasional untuk memberikan pengakuan dan perlindungan kepada para prajurit yang terluka di medan perang.

Para pakar dan tokoh-tokoh penting pada waktu itu tertarik akan idenya, mereka sependapat dengannya. Maka di tahun 1963, diadakanlah Konferensi Internasional di kota Jenewa, Swiss, yang melahirkan Komite Internasional Palang Merah, organisasi kemanusiaan pertama di dunia yang bersifat netral, tidak memihak dan mandiri, serta disepakatinya Konvensi yang diberi nama Konvensi Jenewa, konvensi paling bersejarah yang menjadi tonggak penegakan Hukum Perikemanusiaan Internasional atau Hukum Humaniter Internasional.

Bagi saya, buku "Un souvenir de Solferino" atau "a Memory of Solferino" atau "Kenangan dari Solferino" tentu bukan sekedar buku kenangan pahit tentang sebuah peristiwa yang memiluhkan nurani dan rasa kemanusiaan kita. Tapi dia menjadi batu tapal perjalanan organisasi Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, dan tentang hidup dari manusia-manusia yang bergiat sebagai sukarelawan di dalamnya. Dia adalah batu tapal daripada perjuangan kemanusiaan seorang Henry Dunant yang diwariskan temurun ke generasi-generasinya masa kini.

Dia jadi batu tapal dalam sejarah peradaban umat manusia dan batu tapal hadirnya Perhimpunan Palang Merah Indonesia (PMI) di muka bumi pertiwi ini. Karena bagi buku yang sangat mengemparkan dunia itu, gagasan cemerlangnya telah melampaui sekat-sekat pemikiran, ideologis, transendental, genealogis, dan sebagainya. Itulah mahakarya utama seorang anak manusia sesungguhnya! Visioner, sang Pembaharu! 

Terima kasih Jean Henry Dunant. Karena tanpamu, maka "Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional" mungkin tak akan pernah ada, begitu pun tentang Palang Merah Indonesia yang telah mengukir jasa-jasa kemanusiaan tiada tara bagi bangsa dan negara besar nan merdeka di 17 Agustus 1945 yang kita banggakan ini. Jasadmu boleh lebur berkalang tanah, namun jasamu mengabadi selama-lamanya, terpatri kuat-kuat di dalam sanubari kami, generasi-generasi kemanusiaan.

Hari ini, 8 Mei, kau berhari ulang tahun yang ke 188, dan di hari ini pula “8 Mei 2016”, dunia memperingati Hari Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Selamat Hari Ulang Tahun Sir Jean Henry Dunant, Penerima Nobel Perdamaian yang Pertama, Selamat Hari Ulang Tahun pemilik kalimat yang menginspirasi: “Sebuah Negara tidak akan kekurangan sosok pemimpinya jika generasi mudanya sering berpetualang di hutan, gunung dan lautan”.

Selamat Hari Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Sedunia untuk kita semua, dan ingatlah tema peringatan "Everywhere for Everyone"--dimanapun untuk siapapun. Dimanapun kita berada, dan apapun pekerjaan kita, semoga kita selalu dapat memberikan manfaat bagi sesama manusia yang membutuhkan atas dasar kemanusiaan, tanpa melihat latar belakang, suku, agama, golongan atau ideologi politik.

Dan bagi insan-insan PMI, dalam gerak bantuannya tentu selalu berkarya berdasarkan tujuh prinsip dasar, yaitu Kemanusiaan, Kesamaan, Kenetralan, Kemandirian, Kesukarelaan, Kesatuan dan Kesemestaan. Sembari menunggu disahkannya Rancangan Undang-Undang Kepalangmerahan oleh Bapak dan Ibu kita di Dewan Perwakilan Rakyat, teruslah berkarya di dalam masyarakat, di lingkungan sekitar kita, di tengah keluarga kita, bagi bangsa dan negara yang kita cintai ini, untuk membangun kesiapsiagaan bencana dan kepedulian serta pertolongan terhadap para korban tragedi kemanusiaan.

Terus kampanyekan “Mari Siaga Bencana, untuk Selamatkan Jiwa dan Masa Depan” karena memang negeri kita sebenar-benarnya rawan bencana.

Sahkan #RUUKepalangmerahan #SatuNegaraSatuLambang #RedCrossDay

Penulis: Advokat PERADI dan Sukarelawan PMI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun