Mohon tunggu...
Irwan Rusdy Keliata
Irwan Rusdy Keliata Mohon Tunggu... Guru - #bukan siapa-siapa

Menulis itu, seperti berbicara diatas tulisan. dapat berekspresi bebas sesuai yang dipikirkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bahaya Perangkat Digital bagi Pertumbuhan Anak

7 Juli 2020   21:29 Diperbarui: 7 Juli 2020   21:41 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemajuan teknologi dalam dua dekade ini menimbulkan banyak inovasi baru yang sangat membantu dalam kehidupan sehari-hari. kemajuan ini semakin terasa dengan hadir berbagai perangkat digital yang kian hari semakin canggih. Namun tak dapat dipungkiri juga bahwa kemajuan teknologi membawa dampak buruk bagi kehidupan kita. Hal ini tentu saja menjadi  tantangan baru bagi orang tua dalam mendidik anak.

Di era serba digital ini, tentu sangat sulit menjauhkan anak dari gawai atau perangkat digital lainnya. bahkan tidak sedikit anak menghabiskan waktunya didepan Smartphone berjam-jam bermain games dan bersosial media. Saat ini anak-anak cenderung lebih merasa nyaman berada di depan perangkat tersebut dibandingkan bercengkrama degan orang tua mereka atau bermain permainan fisik diluar rumah. situasi yang buruk seperti ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan emosi, kemampuan bersosialisasi dan keharmonisan antara orang tua dan anak.

Tidak sedikit saat ini orang tua mengeluh tentang perubahan anak-anak mereka yang sulit diatur, cepat terdistraksi dan impulsif. Sebagian orang tua menyalahkan lingkungan sekolah, lingkungan rumah atau teman-teman sepergaulannya yang menjadi penyebab perubah perilaku anak mereka itu. Tentu itu merupakan variable dalam menyimpulkan perubahan tersebut akan tetapi semua itu juga tidak terlepas dari peran orang tua dalam mengawasi anak-anak mereka dirumah dan lingkungan, terutama dalam penggunaan perangkat digital. 

Yee-Jin Shin, Seorang Psikiater anak tekemuka di Korea Selatan dalam bukunya “World Hurt the World” menyebutkan bahwa Perangkat digital (TV, Smartphone dan Komputer) sangat berpengaruh terhadap perkembangan emosi anak. Pada pemahaman emosi dan kemampuan berpikir diperintahkan oleh otak besar. Didalam otak besar terdapat bagian yang disebut lobus frontalis, lobus paritialis, lobus oksipitalis dan lobus temporalis. Lobus frontalis menjalankan fungsi mengambil keputusan, pengendalian emosi, kemampuan merencanakan dan lain-lain. Semakin berkembang lobus frontalis maka semakin baik seseorang mengontrol perasaan dan emosinya. sedangkan perangkat digital (TV, Komputer dan Smartphone) memberikan stimulis terhadap lobus oksipitalis yang berperan dalam sudut pandang dan lobus parietalis yang berkaitan dengan kemampuan untuk mengintegrasikan sudut pandang dan persepsinya. Oleh karena itu anak-anak yang kecanduan perangkat digital kemungkinan besar akan berkurang fungsi lobus frontalis. Sehingga akan mengalami kesulitan dalam perkembangan emosi, daya konsentrasi dan daya pikirnya.

Perangkat digital juga berpengaruh terhadap perkembangan sosial. Anak yang kecanduan perangkat digital lebih nyaman berada didepan gawai dan computer. Mereka  akan lebih mementingkan diri sendiri sehingga sulit bergaul secara langsung dengan lingkungan. Selain itu juga ia akan sulit memahami perasaan orang lain, Hal ini karena anak memiliki sedikit pengalaman berinteraksi secara langsung.

Dampak buruk lainya juga ketika anak berselancar di Media social. Media sosial  membuka ruang bagi setiap orang untuk bebas berekspresi. Apalagi ditambah dengan fasilitas anonim. Kebanyakan orang berani berkomentar apa saja di dunia maya namun jarang ada yang berani menyatakan langsung di kehudapan nyata. Fenomena umum ini sangat buruk terutama bagi anak yang masih dalam proses perkembangan diri. Anak akan sangat berani menyatakan hal buruk apapun untuk berekspresi, apalagi menggunakan akun anonim. kebiasaan seperti ini jika terus mereka lakukan tentu akan berdampak buruk bagi nilai-nilai moral mereka.

Saat ini juga sangat sulit menghindari anak terpapar konten berbau pornografi di internet. Berbagai konten pornografi yang muncul melalui iklan, media social, dan games. Pada awalnya akan membangkitkan rasa penasaran anak terlebih dahulu. Sekalipun tidak sengaja dilihat. Rasa penasaran inilah yang mendorong mereka untuk melihat lebih banyak lagi konten pornografi. Konten pornografi dapat merusak perkembangan otak anak, tepatnya pada salah satu bagian otak yang disebut Pre Frontal Cortex (PFC). Hal ini disebabkan karena bagian PFC yang ada di otak anak belum matang dan sempurna. Jika bagian ini rusak maka akan mengakibatkan konsentrasi menurun, sulit memahami benar salah, sulit berpikir kritis, sulit menahan diri, sulit menunda kepuasan, dan sulit merencanakan masa depan.

Dikutip dari New York Times edisi 2011, para pegawai di Sillicon Valley (lokasi Perusahan-perusahan besar IT di Amerika seperti google, Apple, yahoo dan Hewlwtt-Packard) menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah Waldorf, sekolah yang tidak menyediakan computer dan jaringan internet bagi murid. Yang mengejutkan bahwa murid kelas 3 SMP baru mulai diajari dasar-dasar pengenalan computer, sedangkan kelas-kelas dibawahnya, diajarkan metode manual mengunakan pensil dan kertas, jarum rajut, tanah liat dan lain-lain. Alasannya, pendidikan di sekolah harus berfokus pada promosi dan kesehatan melalui pola pikir kreatif, memperkenalkan cara berinteraksi dengan orang lain, dan melakukan aktivitas fisik. Bagi mereka komputer hanya menjadi pernghambat tujuan-tujuan itu.

Sebenarnya, Sebagain besar orang tua telah menyadari hal ini, bahwa smartphone atau perangkat digital lainnya mempunyai dampak buruk bagi anak mereka. Namun beberapa dari mereka telah memberikannya sejak dini kepada anak mereka dengan dalih kasih sayang atau biar tidak ketinggalan jaman. Menurut beberapa ahli menyatakan bahwa sebaiknya pengenalan perangkat digital kepada Anak dilakukan selambat mugkin. sangat tidak disarankan itu sudah dilakukan ketika anak masih dalam usia balita atau tahap perkembangan emosi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun