Cinta adalah hakikat keadaan manusia, ia hadir bukan berawal dari pandangan sebagaimana pepatah mengatakan "cinta dari mata turun ke hati". Jika konsepmu seperti itu, maka sesungguhnya itu bukan cinta melainkan akumulasi. Cinta itu abstrak oleh indra, namun nyata oleh rasa. Untuk  memahami cinta bisa diantarkan akal (rasionalitas) disempurnakan oleh jiwa-hati-rasa.Â
Itulah sebabnya mereka yang jiwa-hati-rasanya mati, tidak akan mampu memaknai cinta dan pasti hidupnya berantakan, karena hidup  bahagia adalah kehidupan yang penuh cinta dan kasih.Â
Mengantar mengerti hakikat cinta, bisa dilakukan mendekatan Al-quran dalam surat Az-Zariyat ayat 56:
Artinya :
"Aku tidak menciptakan Jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah kepada-ku"
Jika  memahami ayat diatas hanya pendekatan etimologi maka pembahasan selesai. Manusia hanya akan mengerti bahwa mereka diciptakan untuk sholat, puasa, haji, bayar zakat, sedekah dan ibadah lainnya. Tetapi ada hal yang sangat filosofis dalam ayat ini, untuk mengkaji secara filosofis tidak cukup hanya dengan akal (rasionalitas) tapi  wajib menghadirkan jiwa-hati (intuisi).
Sebagai pencipta maka yang paling berhak adalah dia, jika yang dicipta melanggar tujuan yang telah ditetapkan, maka pencipta bisa mengambil semua fasilitas yang telah diberikan. Allah SWT sebagai pencipta manusia dan alam semesta maka dia pula berhak dan mampu mengambil semua fasilitas terbaik yang telah diberikan kepada manusia ketika melanggar tujuan yang telah ditetapkan dan disepakati (ibadah).
Memahami lebih lanjut, kita akan bertanya "apakah manusia hari ini melaksanakan tujuannya (ibadah)?, jawabannya tidak". Manusia dewasa ini serakah, menindas, pembunuh dan semua keserakahannya. Akal guna berfikir ketika digunakan menipu Allah SWT tidak langsung membuat orang tersebut jadi gila, mata untuk melihat rahmat Allah SWT ketika digunakan melihat yang haram tidak lantas dibuat buta, tangan dan kaki guna untuk melangkah dan berjuang dijalan Allah SWT ketika digunakan menindas serta mengesploitasi tidak langsung dibuat lumpuh dan yang paling luar biasa, bahkan ada yang tidak mengakui sebagai penciptanya (tuhan) namun tetap dibiarkan hidup di muka bumi dan menikmati kenikmatan ciptaanya.
Manusia dengan segala keserakahannya, Allah SWT tetap memberikan oksigen gratis untuk hidup, menikmati fasilitas alam semesta. Â Pertanyaannya, "kenapa tuhan sebaik itu?" hanya ada satu jawaban "karena cinta". Ulasan ringkas diatas dengan pendekatan analogi semoga mengatarkan memahami hakikat cinta.
Yang mejadi diskursus berikutnya adalah ketika cinta itu disematkan, apakah konsep cinta harus memiliki berlaku. Ingat, setiap konsep selalu menyisahkan resiko bagi penganutnya. Membedah konsep cinta harus memilki kata kuncinya adalah kepunyaan atau ke-aku-an. Ini sangat berbahaya, karena konsep kepunyaan (milikku) ketika suatu waktu pergi terlebih jika beralih ke orang lain maka pemiliknya pasti marah atau kecewa.
Berbeda dengan konsep cinta menjaga, kita percaya semua yang mengisi alam semesta adalah ciptaan dan kepunyaan Allah SWT. Maka memaknai serta meyakini isi alam semesta semua milik Allah SWT, akan menuntun memberikan perlakuan terbaik, entah itu kepada manusia, tumbuhan, binatang dan semua mahluk di alam semesta. Perhatian, penghormatan, pemuliaan akan diberikan dan dilakukan dengan cara terbaik karena sadar akan kewajibannya menjaga ciptaan Allah SWT, terlebih jika diberi amanah untuk memiliki. Oleh karenanya, penulis menyarankan konsep cinta harus memiliki dibuang jauh.
Mencapai hakikat cinta, ketika seseorang berhasil menginternalisasikan 99 nama Allah SWT (Asmaul Husna) kedalam dirinya. Orang-orang yang sampai dititik ini sering dikenal dengan sebutan sufi (ma'rifat).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H