[caption caption="Sumber: bolague.com"][/caption]Ketika merayakan Hari Kartini pada 21 April setiap tahunnya, banyak acara dan lomba yang digelar di Indonesia. Kebanyakan orang memahami Kartini hanya sebagai simbol perempuan Jawa. Maka banyak perayaan hanya terbatas pada pengunaan busana semata; lomba kebaya.
Ada banyak salah kaprah, di mana Hari Kartini selalu identik dengan hari memasak, merangkai bunga, fashion show dan kegiatan lain yang diidentifikasi sebagi kegiatan yang “perempuan banget”. Padahal membahas Kartini bukan hanya tentang itu.
Tidak banyak yang sadar, selain sebagai sosok pejuang emansipasi wanita perjuangan utama Kartini justru dimulai dan bahkan lebih banyak lewat tulisan.
Kartini, selain mendirikan sekolah, juga adalah sosok penulis wanita Indonesia yang karya-karyanya menyentuh, menginspirasi dan banyak dibaca hingga kini. Malah bukan saja di Indonesia, karyanya telah banyak diterjemahkan ke bahasa asing. Karyanya dibaca luas di seluruh dunia.
Salah satu yang menjadikan Kartini menonjol adalah tulisan-tulisannya. Habis Gelap Terbitlah Terang adalah versi bahasa melayu dari Door Duisternis Tot Licht terbit pada tahun 1922.
Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka, diterjemahkan dan disunting oleh Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor angkatan Pujangga Baru. Buku ini dicetak belasan kali di masa itu. Buku ini juga makin sering dicetak dan dibaca banyak kalangan hingga sekarang.
Kartini adalah salah satu tokoh pelopor kebangkitan kaum perempuan di Indonesia. Meski penganugerahan gelar pahlawan dan peringatan hari kelahirannya banyak menyulut kontroversi, terutama sebab dirinya dianggap tidak lebih hebat dari Dewi Sartika, Tjut Nyak Dien, Christina Marta Tiahahu, tapi toh Kartini telah memberikan sumbangan pemikiran yang tidak kalah pentingnya bagi perkembangan Indonesia.
Dalam perayaan kelahiran Kartini ini, mari kita belajar beberapa hal penting dari Kartini. Terutama dalam hal menulis.
1. Kartini Tekun Belajar Menulis Sendiri
Kartini sempat sekolah, tapi hanya sampai usianya 12 tahun. Di usia setelah itu, perempuan Jawa, terutama dari kalangan priyai biasanya dipingit untuk kemudian dinikahkan. Hanya berbekal waktu belajar yang singkat, Kartini mendalami sendiri bahasa Belanda yang sempat ia pelajari.
Ia adalah pembelajar yang tekun. Di rumah, ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada sahabat penanya di Belanda. Salah satu sahabat jauhnya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya.