Seharusnya, menurut saya, permasalahannya bukan terletak pada menyebarnya kabut asap ke permukiman. Ibarat pepatah lama, tak ada asap kalau tak ada api. Jadi pokok pangkalnya adalah pembakaran hutan dan lahan yang dari awal dibiarkan.
Sebelum kabut asap menyelimuti permukiman penduduk, saya sudah menulis di kompasiana  Beranikah Jokowi Mengatasi Kebakaran Hutan? pertengahan Juli lalu. Dulu saya masih menggunakan kata "kebakaran", namun tampaknya mulai sekarang lebih baik menggunakan istilah "pembakaran" karena kebakaran itu kejadian tidak sengaja sedangkan pembakaran dilakukan dengan sengaja.
Kalau ada anggota DPD RI asal Riau yang mengatakan kehadiran Jokowi tiga kali ke lokasi tidak "ngefek" sebenarnya wajar saja tidak "ngefek". Yang dihadapi itu kebakaran hutan dan lahan yang demikian banyak jumlah titik apinya. Memadamkan kebakaran itu tentu tak segampang mematikan kompor gas. Kalau memadamkan api adalah pekerjaan yang mudah, tentu banyak para korban kebakaran rumah tak akan kehilangan rumah miliknya.Â
Pembagian masker secara cuma-cuma, meliburkan anak sekolah, melakukan pemadaman, termasuk mengevakuasi warga yg rentan asap, hanya merupakan tindakan yang sementara terhadap kabut asap.Â
Fokus pada Pencegahan
Persoalan asap tahun ini memang sulit diatasi. Namun kejadian tahun ini dapat memberikan kesadaran pemerintah agar pembakaran hutan dan lahan tak boleh dibiarkan lagi. Tahun ini biarlah menjadi tonggak bagi pemerintah untuk tidak lagi melakukan pembiaran kepada para pengusaha pembakar hutan dan lahan.
Tindakan yang sebenarnya harus dilakukan adalah pencegahan pembakaran hutan dan lahan itu sendiri. Pencegahan ini dapat dilakukan dengan memberikan sanksi kepada pengusaha pembakar hutan itu. Pemberian sanksi yang keras harus dilakukan oleh pemerintah, baik terhadap perusahaan yang membakar hutan maupun para pejabat yang melakukan pembiaran karena diuntungkan olehnya.Â
Para pejabat hendaknya tidak lagi bertoleransi kepada pengusaha yang telah merugikan masyarakat baik secara ekonomi maupun kesehatan.
Perangai pejabat kita yang kebanyakan silau oleh harta bisa membuat Indonesia porak poranda. Kita lihat Singapore negara kecil tapi malah cukup disegani. Atau Malaysia yang sama-sama banyak kebun sawitnya. Tak ada pembakaran hutan di sana. Entah pengusahanya sadar berlingkungan atau karena takut mendapat sanksi. Sepertinya (pejabat) Indonesia masih bisa dibodoh-bodohi dalam hal ini oleh pengusaha pembakar hutla. Menerima investasi tapi mengorbankan rakyat sama saja bohong.
Jangan Ditutupi
Ada pihak yang kasat mata membela para pembakar hutla. Entah mereka bekerja di perkebunan atau di HTI, seolah kebakaran hutla bukan disebabkan oleh pembakaran hutla yang disengaja. Mungkin saja mereka bekerja di perusahaan yang tidak terlibat, tetapi jangan pula menutup mata dengan mengatakan tidak ada perusahaan yang terlibat pembakaran hutla ini.
Yang lebih miris bila pemerintah seolah ingin menutupi kelakuan para pengusaha pembakar hutla ini. Siti Nurbaya mengatakan tak akan membuka perusahaan mana yang terlibat membakar hutla. Ini seolah memberi angin kepada pengusaha pembakar hutla itu. Padahal dengan membuka nama perusahaan yang terlibat adalah termasuk salah satu sanksi moral.
Jokowi sendiri sudah menginstruksikan untuk mencabut izin PT Tempirai. Entah bagaimana kelanjutannya apakah memang sudah dicabut oleh pejabat terkait atau menunggu perkembangan lebih lanjut sambil mengobral omong kosongnya. (baca :Â alex-noerdin-tidak-hanya-pt-tempirai-yang-izinnya-dicabut)