Beberapa hari yang lalu PDIP mengumumkan pembentukan kabinet bayangan sebagaimana yang ditulis salah satu Kompasianer di sini. Sejumlah tokoh muda telah disebutkan memegang kementerian tertentu dalam kabinet bayangan tersebut.
Pembentukan kabinet bayangan ini telah menarik perhatian sejumlah pengamat perpolitikan. Berbagai komentar pro-kontra pun segera bermunculan. Ada yang sinis ada pula yang mendukung. Tidak hanya dari luar PDIP saja, juga dari dalam PDIP sendiri. Salah satunya yang muncul di media adalah Fahmi Habsyi yang mengatakan kabinet bayangan seharusnya muncul bila capres sudah resmi ditetapkan.
Ia menegaskan, Kabinet bayangan yang dimunculkan sama saja dengan melawan logika dan harapan publik. Seharusnya, katanya, kabinet bayangan muncul jika capres sudah resmi ditetapkan. (ProJo: Kabinet Bayangan PDIP Cederai Semangat Megawati)
Apakah kabinet bayangan ini dibentuk untuk mengganjal Jokowi?
Sebenarnya istilah kabinet bayangan sudah diperkenalkan PDIP sejak dari beberapa Pemilu yang lalu. Pada awalnya kabinet bayangan ini dibentuk sebagai sarana PDIP yang memposisikan diri sebagai partai oposisi untuk mengimbangi kinerja kabinet pemerintah. Setiap menteri kabinet bayangan diharapkan dapat memantau gerak-gerik kebijakan yang diambil oleh menteri kabinet pemerintah. Jadi tentu tidak benar kalau dikatakan untuk menjegal Jokowi.
Bagaimana Sebaiknya Sebuah Kabinet Dibentuk (Buat Jokowi)?
Siapapun yang bakal jadi presiden nanti, tentu akan membentuk sebuah kabinet. Pembentukan ini merupakan hak prerogatif seorang presiden. Meskipun nantinya bakal ada bisikan-bisikan dari para sponsor, namun kesimpulan akhir ada di tangan presiden.
Dari pengamatan penulis beberapa perioda akhir-akhir ini, umumnya kabinet dibentuk dengan wacana pembagian kekuasaan di antara parta pendukung koalisi. Partai yang mendukung pemerintah akan memperoleh jatah menteri sementara yang beroposisi cukuplah puas mengamati dari sisi luar.
Pembentukan kabinet seperti ini sesungguhnya kurang efektif. Di sini seolah-olah pembentukan kabinet lebih bernuansa pembagian kekuasaan ketimbang pembagian amanah. Malah agar bisa lebih banyak lagi maka dibentuklah jabatan baru yaitu wakil menteri. Akibatnya tentu para menteri berlomba-lomba menggunakan kesempatan untuk menguntungkan dirinya sendiri maupun partai dan golongannya.
Oleh karena itu hentikanlah pembagian kekuasaan ini. Pembagian kekuasaan cukup dilakukan di legislatif saja, karena memang itulah rumah yang cocok bagi para politisi.