Mohon tunggu...
Irwan Halik, S.E., S.H.
Irwan Halik, S.E., S.H. Mohon Tunggu... profesional -

Irwan Halik, S.E., S.H. just an ordinary man, nothing special Google+ Profile: www.google.com/+irwanLaw www.irwanLaw.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mati Suri dan Gagalnya Sistem Peradilan Pidana Indonesia

29 Desember 2012   02:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:52 1446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Indonesia permasalahan penegakkan hukum adalah merupakan hal tersulit yang harus diwujudkan, disamping mencapai tujuan-antara (Kepastian Hukum, Asas Manfaat dan Rasa Keadilan); dalam konteks pidana, tujuan terdekat dari hukum pidana adalah memperbaiki si pelaku.

Tidak jarang terjadi konflik diantara kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Jikalau kita hanya berpegang kepada kepastian hukum maka keadilan atau kemanfaatannya akan menjadi korban. Sebaliknya jika kita terlalu berpegang kepada kemanfaatan, maka keadilan dan kepastian hukum yang dikorbankan, dan akan terjadi begitu terus selanjutnya.

Dalam menjatuhkan vonis/putusan; seorang hakim pada sistem peradilan Indonesia; ketiga unsur tersebut di atas merupakan harus dipadukan dan dirumuskan dalam suatu vonis/putusan.

Kemudian untuk mengamati fenomena dalam sistem peradilan Indonesia; yang manakah dari ketiga unsur tersebut yang menjadi fokus utama? Kita harus secara langsung melakukan studi penelitian hukum terhadap vonis/putusan.

Dalam pembahasan awal ini penulis mengambil kasus delik pidana yang sempat menjadi hot-news dan booming di Indonesia; yakni perkara àsusila Nazril Irham Noah alias Ariel Peterpan.

Terlihat dalam putusan tersebut; bahwa lembaga peradilan Indonesia fokus terberat adalah terletak pada asas manfaat; yakni memberikan pembelajaran kepada segenap masyarakat Indonesia. Dengan kata lain untuk menimbulkan efek jera (juga memperbaiki pelaku) kepada agar calon dan/atau bibit-bibit pelaku sejenis.

Namun pada kenyataannya ternyata tujuan tersebut tidak tercapai; terlebih dalam pembelaan yang dibuat dalam bentuk tulisan tangan dan dibacakan sendiri di persidangan tertanggal 13 Januari 2011 yang pada intinya:

“Bahwa terdakwa keberatan apabila dikatakan tidak menyesali perbuatan ini, karena sebenarnya terdakwa akan berusaha untuk bersabar dalam menghadapi perkara ini”.

Tujuan lembaga peradilan terlihat GAGAL tercapai; dikarenakan sekeluarnya terpidana perkara àsusila dimaksud ternyata; malah membuat sosok dirinya ibarat BAK SEORANG PAHLAWAN YANG BARU PULANG BERTEMPUR DARI MEDAN PEPERANGAN! Fenomena ini membuat seakan membuat terpuruk citra lembaga peradilan; menggalang simpati kepada terpidana bahwa dirinya adalah sebagai korban dari tirani dan kesewenang-wenangan hukum!

Terlepas dari kasus àsusila Nazril Irham Vokalis Grup Band Noah alias Ariel Peterpan (dahulu Grup Band Peterpan); dalam perkara pidana lain, sukses tidaknyatujuan pemidanaan dalam sistem hukum Indonesia terlihat dari hasil efektivitasnya dari sisi waktu pasca vonis/putusan suatu perkara pidana tersebut.

Dalam hal ini misalkan perkara narkotika; hukuman berat yang ditimpakan kepada terpidana pelaku perdagangan narkotika adalah hukuman mati. Disini dapat kita amati; ternyata pasca vonis/putusan hukuman mati salah seorang pemilik pabrik ekstasi dikawasan Cibubur, terlihat lalu-lintas perdagangan narkotika di tanah air tidak berkurang, hal ini tercermin dengan munculnya pemberitaan-pemberitaan di televisi lokal tanah air; disini dapat kita ambil suatu kesimpulan ternyata asas manfaat yang diharapkan dapat menimbulkan efek jera dan mampu meredam dan/atau mengurangi calon pelaku tindak pidana sejenis ternyata tidak efektif!

Suatu cita/tujuan ideal dari asas manfaat yang tertuang dalam vonis/putusan selain secara eksplisit kepada si pelaku; asas manfaat lain yang diharapkan adalah menimbulkan rasa “Sadar Hukum” kepada segenap rakyat Indonesia; namun ternyata yang didapatkan adalah hanya “Takut Akan Hukum”.[1]

Sadar Hukum dan Takut Hukum adalah sebuah dimensi yang serupa namun pada dasarnya adalah sangat jauh berbeda apabila kita maknai secara mendalam; sebagai contoh, penulis mengambil sebuah ilustrasi tayangan iklan salah satu produk rokok yang dahulu pernah ditampilkan di televisi lokal tanah air; ada seorang pengemudi yang hendak melakukan putaran balik arah pada suatu titik yang ada tanda rambu larangan, setelah mengamati tidak ada petugas lalu-lintas didaerah situ; si pengemudi melakukan pelanggaran terhadap rambu tersebut; namun ternyata ada seorang petugas yang menyamar dengan kamuflase pepohonan, saat dihentikan petugas dan bertanya “kamu tidak lihat ada larangan?” tapi dijawab “lihat Pak, tapi saya tidak tahu / tidak lihat ada Bapak!

Disini terlihat suatu sindiran sinis kepada keadaan dan kondisi hukum di Indonesia; rasa “Takut Akan Hukum” yang lebih besar dan dominan daripada rasa “Sadar Hukum” itu suatu gambaran keadaan hasil yang diperoleh dari sistem peradilan Indonesia; ternyata apa yang dicitakan oleh lembaga peradilan Indonesia tidak berjalan sesuai pengharapan.

Artinya seseorang calon pelaku pelanggaran dan/atau kejahatan sebenarnya tidak tertanam rasa “Sadar Hukum” dengan kata lain akan melakukan hal tersebut apabila ada kesempatan / tidak diketahui; artinya peradilan Indonesia GAGAL mencapai/menciptakan tujuan ideal tersebut!

Belajar dari pengalaman orang lain; adalah sebuah peribahasa bijak yang tidak pernah pupus tertelan kemajuan jaman dan sang waktu.

Berbicara personafikasi negara dalam mempelajari pengalaman orang lain; Indonesia pada intinya adalah pengguna sistem hukum eropa kontinental (kodifikasi hukum) dengan sedikit sentuhan anglo-saxon (yurisprudensi); namun terlepas dari penggunaan kedua sistem hukum tersebut; sebenarnya Indonesia bisa melakukan studi banding kepada sistem peradilan pidana negara lain “DILUAR” kedua sistem hukum tersebut.

Berbicara terkait pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam hal peradilan menjatuhkan vonis/putusan; merupakan sebuah topik yang selalu menarik untuk diperbincangan dan tidak akan ada habisnya.

Dalam perkara pidana lain; misalkan pembunuhan; sebenarnya Indonesia bisa belajar dan bercermin pada Saudi Arabia; para pembaca yang budiman tentunya harus menyingkirkan tudingan fanatisme ke penulis (saya) terkait unsur SARA (jangan menganggap penulis/saya adalah seorang yang fanatik dan cinta kepada konsep religius ke-Islam-an sistem hukum Negara Saudi Arabia), karena konseptual inti dari tulisan ini adalah berbicara hukum dari kacamata hukum dan bukan berbicara hukum dalam sudut pandang yang terkait SARA.

Dalam sistem peradilan Saudi Arabia menggunakan dasar hukum yang berbasis pada Syari’at Islam yang mengatur seluruh sendi-sendi dalam kehidupan dan bermasyarakat warga negaranya.

Didalamnya terisi berbagai penyelesaian permasalahan melingkupi seluruh aspek kehidupan bernegara dan masyarakat yang merupakan panduan menyeluruh, total dan sempurna.

Mengutip tulisan dari http://www.scribd.com/doc/19428999/Sistem-Peradilan-Dalam-Islam:

Sumber-sumber Hukum Islam:

a)Al-Qur'an

Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman (Saba’ QS 34:28). Sebagai sumber Ajaran Islam juga disebut sumber pertama atau Asas Pertama Syara’. Al-Quran merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci lainnya yang pernah diturunkan ke dunia. Dalam upaya memahami isi Al-Quran dari waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi Al-Qur’an namun tidak ada yang saling bertentangan.

b)Al-Hadist

Al-hadist adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad. Hadits sebagai sumber hukum dalam Agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur’an.

c)Ijtihad

Ijtihad adalah sebuah usaha untuk menetapkan Hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Ijtihad dilakukan setelah Nabi Muhammad telah wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada beliau tentang suatu hukum namun hal-hal ibadah tidak bisa di-ijtihadkan.

Ada 4 (empat) kategori hukuman dalam sistem peradilan Islam, yaitu:[2]

1.Hudud. Hak Allah SWT, seperti perbuatan zina (100 cambukan), murtad (hukuman mati).2

2.Al-Jinayat. Hak individu, dia boleh memaafkan tindak kejahatan seperti pembunuhan, kejahatan fisik.2

3.At Ta’zir. Hak masyarakat, perkara-perkara yang mempengaruhi kehidupan masyarakat umum sehari-hari seperti pengotoran lingkungan, mencuri di pasar.2

4.Al-Mukhalafat. Hak negara, perkara-perkara yang mempengaruhi kelancaran tugas negara misal melanggar batas kecepatan.2

Yang menarik untuk dibahas dalam keterkaitan sistem pemidanaan Saudi Arabia terkait tindak kejahatan adalah Al-Jinayat sebagaimana diuraikan dalam kutipan di atas.

Dalam hal ini seseorang/keluarga yang dirugikan (keluarganya dalam hal perkara pembunuhan) mempunyai hak untuk memaafkan terdakwa atau menuntut ganti rugi atas tindak pidana tersebut.

Sebut saja sebuah perkara pembunuhan seorang TKW bernama Darsem yang mengaku membunuh secara sengaja untuk mencegah aksi bejat majikannya pada Desember 2007 silam.

Sidang pengadilan di Riyadh, pada 6 Mei 2009, menjatuhkan vonis hukuman pancung bagi Darsem. Namun, ia lolos dari eksekusi mati setelah mendapat pengampunan dari keluarga korban, ahli waris korban diwakili Asim bin Sali Assegaf bersedia memberikan maaf (tanazul) kepada Darsem dengan kompensasi uang diyat (ganti rugi atau santunan) sebesar 2 juta Real, atau sekitar Rp 4,7 milyar, yang dapat dicicil dalam jangka waktu enam bulan.[3]

Pembahasan ini dengan catatan notabene dan dalam tanda-kutip “tidak membahas sisi alasan si Darsem melakukan pembunuhan[4]” namun dari sisi sistem pemidanaan Saudi Arabia yang pada intinya berhasil memberikan asas manfaat kepada warga negaranya; baik kepada keluarga korban, yang dalam hal ini adalah sebagai penentu utama terkait vonis/putusan yang akan dijatuhkan, yang dalam hal ini terbunuh adalah kepala keluarga sebagai penopang dan pencari nafkah keluarga tersebut, tentunya uang diyat/ganti rugi santunan tersebut bermanfaat untuk keluarga yang ditinggalkan; ataupun kepada warga negara dan/atau penduduk[5] Saudi Arabia yakni memberikan efek jera yang memunculkan kesadaran hukum dan tidak hanya takut akan hukum; karena sejumlah uang tersebut adalah sulit untuk didapatkan; tentunya keluarga korban jugalah yang menentukan besaran jumlah uang diyat dimaksud; sekali lagi terlepas dari pembahasan alasan si Darsem melakukan bela diri, tentunya akan lebih memberikan pembahasan yang lebih panjang lebar lagi.

Sebagai ilustrasi lain agar pembahasan terkait perbandingan hukum pidana ini lebih mengena dan tepat sesuai porsinya; penulis akan mencoba membawa sistem pidana Saudi Arabia ini berbeda dari pembahasan terkait studi kasus pembunuhan Darsem di atas.

Menurut hemat penulis; kasus lain yang bisa diterapkan sistem denda terkait perbuatan pidana dalam hal kasus pidana di Indonesia adalah kasus TiPiKor; memang kasus TiPiKor di Indonesia menerapkan sanksi kumulatif antara Pidana Penjara PLUS Denda! Namun besaran denda yang dijatuhkan dalam vonis/putusan hakim tidaklah sebanding dan tidak menimbulkan efek jera; sebagai contoh: kasus korupsi sebesar Rp100Milyar Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia ATP[6] yang dijatuhkan vonis empat tahun enam bulan penjara oleh majelis hakim PLUS denda sebesar Rp200juta subsider 6 bulan kurungan.

Tentunya besaran jumlah denda yang dijatuhkan sebesar Rp200juta tidak sebanding dengan nilai Rp100Milyar tersebut; yang tentunya TIDAK akan membuat efek jera kepada CALON-CALON PELAKU TiPiKor sejenisnya; tentu lain halnya jika jumlah nominal denda yang dilakukan sebesar nilai Rp100Milyar juga tentunya akan mengurungkan niat para kejahatan kerah putih melakukan perbuatan serupa, terlebih penulis adalah salah seorang yang menolak adanya hukuman mati di Indonesia; baik wacana hukuman mati bagi para koruptor ataupun perkara pidana lain seperti pembunuhan ataupun tindak pidana lainnya.

Karena suatu perbuatan pidana bukan hanya disebabkan adanya niat dari pelaku; namun faktor adanya kesempatan juga merupakan potensi pemicu terjadinya perbuatan pelaku; dalam hal kasus TiPiKor tentunya calon pelaku akan mengurungkan niatnya apabila tahu vonis yang akan dijatuhkan selain penjara juga denda sebesar nominal rupiah yang di korupsi olehnya. (irwan_se_sh@yahoo.com)

Fiat Justitia Ruat Coelum

Merengkuh Keadilan tanpa landasan moral, etika dan integritas, adalah perjuangan hampa tanpa hasil. Menjadi sangat sulit untuk menapak diatas jalan-jalan kebenaran yang penuh kendala.

[1]Terlebih akhirnya putusan PK perkara dimaksud; berubah dari hukuman mati menjadi pidana penjara 15 (lima belas) tahun.

[2] Dharta0421, Sistem Peradilan Dalam Islam, hlm.4. bisa diakses di: http://www.scribd.com/doc/ 19428999/Sistem-Peradilan-Dalam-Islam

[3] http://poskota.co.id/berita-terkini/2011/02/24/bebas-hukum-pancung-tkw-subang-bayar-ganti-rugi-rp46-miliar

[4] Tidak membahas masalah dasar-dasar penghapus dan/atau gugurnya pidana seperti upaya bela paksa dan/atau membela diri.

[5] Bukan Warga Negara Saudi Arabia namun tinggal/menetap di Saudi Arabia.

[6] http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=822

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun