Â
Jagat maya kembali heboh. Viral beredar potongan video Tri Rismaharini atau yang akrab dipanggil Ibu Risma marah kepada peserta rapat di Gorontalo, Jumat (1/10/2021). Dalam video yang beredar, eks Walikota Surabaya yang kini menjabat sebagai Menteri Sosial itu berjalan menghampiri seorang pria berkemeja merah, sambil menunjuk-nunjuk.
"Tak tembak kamu ya, kamu tak tembak ya," ucap Risma sambil mendorong pria itu yang awalnya tampak hendak berdiri ketika dihampiri oleh Sang Ibu Menteri. Entah apa maksud kata "tembak" yang diucapkan Risma.
Setelah meluapkan kemarahan pada pria itu, Sang Menteri  kembali ke tempat duduknya. Setelah kembali duduk pun, suaranya masih meninggi.
Dikabarkan Sang Menteri murka terkait data bansos. Sedangkan pria berkemeja merah itu disebut sebagai salah seorang pendamping dalam urusan bansos. Artinya, pria itu adalah bawahan Ibu Menteri.
Mempermalukan Bawahan di Depan Publik, Patutkah?
Kemarahan Ibu menteri tentu ada sebabnya. Mungkin saja ada kesalahan yang dilakukan oleh para bawahannya sehingga berdampak pada terhambatnya penyaluran bansos ke masyarakat. Pada titik ini, kita melihat betapa Ibu menteri peduli pada rakyat kecil.
Tetapi, peduli pada rakyat tidak harus ditunjukkan dengan mempertontonkan kemarahan. Bukankah masih ada cara lain yang dapat dilakukan tanpa harus menunjukkan sisi arogansi sebagai seorang pejabat tinggi? Tegas dan arogan/kasar jelas sangat berbeda.
Sebagai seorang pejabat tinggi sekelas menteri, Ibu Risma seharusnya lebih bisa mengontrol emosi. Ini bukan hanya soal etika pejabat publik. Lebih dari itu, dikhawatirkan berdampak pada kondisi mental dan fisik Ibu Risma yang semakin hari semakin renta. Ada cukup banyak kejadian, karena emosi tidak terkendali lalu berujung kena serangan jantung, dan tamat.
Tentu kita tidak ingin Ibu Menteri mengalami nasib demikian. Saya percaya republik ini tidak rela kehilangan sosok peduli rakyat seperti Ibu Risma---tentang peduli rakyat, biarlah Tuhan dan Ibu Risma sendiri yang tahu. Karena itu Ibu Menteri, mohon belajarlah menata emosi.
Tentang sifat Ibu Menteri yang doyan marah-marah ini juga menjadi tontonan yang kurang patut bagi anak-anak kita yang masih di bawah umur. Padahal sejak dini mereka diajarkan soal pendidikan karakter, cinta damai, atau soal kesantunan sebagai bagian yang melekat dari budaya ketimuran kita.
Teringat pepatah lama, orang yang doyan marah-marah biasanya kurang memiliki kapasitas. Apakah Ibu Menteri tidak berkapasitas? Saya  tidak katakan demikian!
Keseringan marah-marah pada bawahan sebenarnya itu setara dengan penganiayaan. Sebab Sang Bawahan jelas tidak memiliki kesetaraan argumentasi untuk membantah vonis Sang Atasan. Sehingga akhirnya, mereka hanya bisa pasrah menerima nasib dipermalukan di depan publik.
Ini nasehat buat kita semua, siapa pun anda, apapun jabatan anda, jangan semena-mena pada bawahanmu! Sebab pada saatnya nanti, anda akan kembali menjadi masyarakat biasa, yang artinya akan kembali setara dengan kita semua. Pada saat itu tiba, jika anda cukup banyak menyisakan warisan sakit hati, maka sangat mungkin orang-orang akan lebih memilih menoleh ke tempat sampah ketimbang menatap wajah anda.
Doyan marah adalah sifat yang harus dihindari, karena itu sifat buruk. Kurang lebih begitu petuah Ibu Guru di suatu waktu lampau.
(Penulis: Irwan Ali, Seorang bawahan yang sedang belajar nulis ... hehehe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H