Mohon tunggu...
IRWAN ALI
IRWAN ALI Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti di Lingkar Data Indonesia

"Seseorang boleh saja pandai setinggi langit, tapi selama tidak menulis maka ia akan dilupakan oleh sejarah" - @Pramoedya_Ananta_Toer

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Wajah Pendidikan Kita di Masa Pandemi, Sebuah Catatan Pinggir

10 Juli 2020   23:39 Diperbarui: 10 Juli 2020   23:52 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika ingin mengintip kejayaan masa depan sebuah Negara, lihat dan perhatikanlah dinamika lembaga pendidikannya

Di penghujung tahun 2019, masyarakat dunia tiba-tiba dikejutkan dengan munculnya sebuah wabah Virus. Namanya Korona, lengkapnya Corona Virus Disease-19--COVID-19. Karena virus ini, seketika dunia jadi tiarap. Tidak pandang bulu, dari Negara termiskin/terlemah hingga Negara super power dan super tangguh, semua takluk dihadapan Korona. Pernah lihat anak kecil yang panik dan ketakutan di tengah gelegar suara petir? Seperti itulah keadaan masyarakat dunia saat ini.

Pergerakan penyebaran Corona yang demikian cepat memaksa WHO pada 11 Maret 2020 menetapkan wabah ini sebagai sebuah pandemi global.

Gagap, gamang, linglung, dan lainnya---apa pun istilahnya, adalah gambaran dari keadaan kita di masa-masa awal pandemi.  Seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara mengalami guncangan, termasuk dalam dunia pendidikan.

Dalam masa kepanikan ini, WHO menganjurkan seluruh Negara agar menerapkan kebijakan Social Distancing (pembatasan sosial) yang kemudian disusul dengan physical distancing.  Atas keadaan ini, saya dan mungkin juga sebagian besar orang merasa sepi di tengah keramaian. Pertama kali dalam sejarah, Jarak benar-benar hadir sebagai antara yang melimitasi kebersamaan, bahkan pada sepasang kekasih.

Dalam bidang pendidikan, konsekuensi dari  kebijakan Social Distancing  menyebabkan Kementerian Pendidikan Nasional  menetapkan kebijakan darurat.  Yang paling terasa adalah penghapusan Ujian Nasional hingga kebijakan siswa belajar di rumah atau proses pembelajaran mode daring.

Pembelajaran Daring, Wajah Baru Pendidikan

Aktivitas belajar di rumah benar-benar menjadi wajah baru pendidikan kita. Betapa tidak, proses belajar mengajar model daring ini tiba-tiba memposisikan para orang tua siswa sebagai guru dadakan. Mereka menjadi pengajar sekaligus fasilitator bagi anak mereka masing-masing.

Demikian dengan bertambahnya peran guru. Jika di masa normal, seorang guru hanya berinteraksi dengan anak didiknya. Tapi pada sistem belajar daring, selain dengan anak didik, Sang Guru juga idealnya dituntut berkomunikasi dengan para orang tua setiap hari. Ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan pengetahuan, sikap, maupun keterampilan anak didik.

Sebagai sebuah kebijakan darurat, wajar jika dinamika proses belajar di rumah/belajar daring masih menyisakan sejumlah catatan. Meski demikian,  pada sisi lain sistem ini melahirkan sejumlah hal positif.

Hal positif yang dimaksud diantaranya; orang tua siswa memiliki kesempatan untuk menjadi pendidik bagi putra-putrinya. Mungkin saja, sebagian orang tua siswa pernah di suatu waktu merindukan keadaan dimana mereka bisa berada dekat mendampingi anak-anaknya dalam proses pembelajaran. Jika keinginan ini pernah terlintas, sekarang sudah terkabul.

"Mendampingi anak-anak dalam proses belajar ternyata tidak semudah yang dibayangkan," ungkap seorang ibu, salah seorang tetangga di kompleks perumahan. 

Melihat wajahnya yang cemberut, rupanya Ibu ini sedang kesal pada putranya. Pasalnya, suara Sang Ibu sudah sampai serak menjelaskan pelajaran Matematika tapi anaknya belum paham juga.

"Kenapa kah ada otak tumpul begitu," gerutu Sang Ibu. Ungkapan kekesalan itu ditujukan pada anaknya. Ia mengira anaknya masih berada dalam rumah sehingga bisa dengar gerutu Sang Ibu. 

Padahal, sejak tadi anak itu sudah menyelinap keluar rumah sambil bawa bola. Sangat mungkin tujuannya adalah lapangan bola samping masjid kompleks.

Kisah di atas bisa mengetuk kesadaran para orang tua bahwa menjadi guru bukan pekerjaan mudah. Di samping butuh kesabaran, seorang guru harus matang memahami psikologi perkembangan anak didiknya. Bukan hanya itu, sekeranjang kemampuan lainnya juga dipersyaratkan untuk menjadi seorang guru yang baik.

Menyadari sulitnya berperan sebagai guru seharusnya bisa menstimulasi orang tua murid agar lebih menghargai jasa dan pengabdian seorang guru. 

Di masa depan kita berharap tidak lagi mendengar kabar adanya orang tua siswa yang datang ke sekolah memaki guru anaknya. Harapan yang sama agar para jurnalis di masa depan tidak lagi menulis headline berita di media massa tentang seorang guru yang dilapor pidana oleh orang tua muridnya. Semoga!!!

Layaknya sebuah wajah, sayang sekali pembelajaran model daring belum cukup mampu membuat kita terpukau. Kualitas model daring sebagai wajah pendidikan masih cukup berjarak dari sebutan rupawan. Kekurangan masih cukup kontras terlihat di sana-sini. Jika ada yang menyebutnya  Si Buruk Rupa, mungkin bukanlah kekeliruan.

Jika tidak segera dibenahi, ada semacam ketakutan wajah pendidkan kita akan sebut Si Buruk Rupa secara permanen. Sebagai bagian dari elemen sistem pendidikan, kita para guru dan tenaga pendidik tentu tidak rela menerima penyebutan itu. Oleh karena itu kita berharap dan mendorong pemerintah agar menyempurnakan sistem ini.

Beberapa poin prioritas yang butuh perhatian lebih serius adalah; pertama, penguasaan teknologi sebagaian guru masih rendah.  Kedua, keterbatasan sarana dan prasarana.  Keterbatasan ini tidak hanya di alami oleh para guru tetapi juga siswa. Peralatan internet apa adanya menyebabkan proses pembelajaran jauh dari kata memadai. Idealnya, guru dibekali perangkat elektronik dengan kualitas memadai .

Ketiga, lemahnya jaringan Internet. Kabar baiknya, ini tidak dialami oleh kita di Kota Makassar. Kendala ini banyak rasakan oleh teman-teman guru yang kebetulan mengajar di pelosok. Karena kurang---bahkan tidak ada jaringan internet, sehingga mereka harus mengunjungi murid-muridnya satu-persatu di rumah masing-masing.

Keempat; biaya internet. Agar terus bisa mengakses internet guru dan siswa harus merogoh kocek untuk beli kuota. Jika pembelajarannya hanya menggunakan aplikasi WhatsApp, mungkin tidak terlalu banyak menghabiskan kuota. Tetapi bagaimana jika ada bahan belajar yang harus dilihat dengan mengakses video youtube?

Alhamdulillah, kami di KOSAMJA telah dibekali oleh sekolah pulsa senilai Rp.100.000 untuk daftar paket kuota internet. Masih kurang? Mungkin ya. Tapi masih lebih baik kurang dari pada tidak ada sama sekali kan?

Pada bagian akhir tulisan ini, penulis hanya ingin mengatakan bahwa jika ingin mengintip kejayaan masa depan sebuah Negara, lihat dan perhatikanlah dinamika lembaga pendidikannya.  

Jika pernyataan ini benar, maka itu berarti bahwa gerak langkah pendidikan dalam sebuah Negara-bangsa tidak boleh melemah. Bagaimana pun tantangan yang merintangi, pendidikan harus tetap berjalan. Jangankan hanya korona, bahkan Nenek Buyutnya Korona pun tidak boleh menjadi perintang gerak laju pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun