Bukankah "perbedaan" memang mendapat ruang yang luas dalam demokrasi?
Tetapi teori tetaplah teori. Pada tingkat implementasi, keberadaannya kerap hanya berada di pinggir lapangan, menjadi cadangan bahkan penonton. Faktanya, sekumpulan orang yang lebih pantas disebut preman itu telah beraktualisasi dengan kekerasan dalam menanggapi sebuah perbedaan. Arsyad terlanjur "Bonyok" dan kini terbaring di rumah sakit.
Tidak hanya mencederai demokrasi, aksi itu juga mengancam kebebasan pers. Jika pihak berwajib tidak segera turun tangan menuntaskan kasus ini, maka bisa berakibat fatal. Lembaga-lembaga penyiaran akan terkekang mengangkat tema, takut pada begundal-begundal piaraan itu. Akibatnya, publik akan menerima informasi yang hanya direstui oleh pemilik begundal. Tentu saja, informasi yang direstui itu bisa jadi hanya menjadi sampah informasi bagi publik.
Begundal piaraan? Dugaan sementara mengarah kesana. Sebuah aksi yang dilakukan banyak orang sudah pasti terencana. Ada pencetus ide, koordinator aksi, dan seterusnya. Nah, jika mereka yang datang menyerang hanya sekelompok preman biasa, lantas apa kepentingannya menganiaya Arsyad?
Pada titik itu, kesimpulan kita sudah barang tentu mengarah pada adanya seseorang aktor intelektual di balik kejadian itu. Ada aktor yang sangat berkepentingan tehadap babak belurnya Arsyad. Siapa aktor itu? Kita hanya bisa menduga-duga. Pihak Kepolisianlah yang paling berhak untuk mengusut itu.
Tapi kuat dugaan, ini karena berkaitan dengan pemilukada Makassar dan membelotnya Arsyad dari Partai Golkar. Pada sisi yang lain, bisa juga preman tersebut adalah suruhan dari orang tertentu yang merasa dirugikan oleh Arsyad sebagai aktifis LSM anti korupsi. Kita tunggu saja bagaimana hasil penyelidikan dan investigasi pihak kepolisian.
Tetapi jika benar, semua ini karena Pilkada, maka kita semua warga Makassar seharusnya bersatu untuk memberi sanksi sosial kepada pelaku dan aktor intelektualnya.
Jika aktor intelektualnya adalah seorang timses salah satu kandidat walikota, mari kita bersama-sama untuk tidak memilihnya. Logikanya, Makassar sedang mencari pemimpin yang bisa mengayomi dan memberdayakan masyarakatnya. Bukan memberdayakan preman. Begitukah? Tabe ... !!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H