Sejak konflik intitusi KPK—Pori bergulir, rakyat menunggu sikap tegas Presiden untuk segera menengahi perseteruan itu.Sebagai tindak lanjut dari harapan rakyat, presiden kemudian membentuk sebuah tim bernama “TIM Sembilan” yang bertugas untuk mencari jalan tengah atas perseteruan tersebut. Tidak hanya itu, Presiden Jokowi juga telah bertemu dengan Prabowo Subianto dan mantan Presiden RI BJ. Habibie di Istana Bogor. Meski kita tidak tahu pasti apa detil yang diperbincangkan oleh ketiga tokoh tersebut, namun satu yang pasti konflik KPK-POLRI menjadi salah satu item perbincangan mereka.
Konflik KPK-POLRI bisa dikatakan sebagai ujian bagi presiden Jokowi dalam mengelola konflik. Sebagai seorang kepala pemerintahan, Presiden Jokowi dituntut untuk piawai mengelola konflik.Sebagaimana yang dikatakan oleh E.E. Schattschneider dalam bukunya “The Semisovereign People,” bahwa kekuasaan esensial pemerintah adalah kekuasaan untuk mengelola konflik sebelum konflik itu pecah. Menurutnya, politik itu adalah manajemen konflik untuk mengatasi konflik nilai, keyakinan, dan kepentingan.
Espektasi Publik Yang Memudar
Salah satu alasan mengapa mayoritas rakyat menjatuhkan pilihannya kepada Jokowi-JK pada pemilihan presiden yang lalu adalah karena pasangan ini dinilai bisa membawa Indonesia mewujudkan pemerintahan yang bersih yang bebas korupsi, atau setidaknya akan konsisten dalam upaya pemberantasan korupsi.
Espektasi public kemudian memudar tatkala Komisaris Jenderal Budi Gunawan, Calon tunggal Kapolri ditetapkan sebagai “Tersangka” oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Celakanya, Komisi III DPR RI secara aklamasi menyetujuiKomjen Budi Gunawan dilantik sebagai Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman.
Tak ayal, wajah kepolisian merona merah menahan marah dan malu serasa di tampar. Langkah KPK pun dinilai sebagai kriminalisasi. Penetapan “Tersangka” tersebut dinilai tidak sesuai prosedur. Ketua KPK, Abraham Samad dituding sebagai pihak yang paling berperan atas keadaan ini. Abraham disebut punya dendam pribadi kepada Budi Gunawan, akhirnya memanfaatkan KPK untuk menjerat Budi Gunawan.
Tak berselang lama, beredar foto mesra Abraham Samad dengan salah satu finalis Putri Indonesia. Hanya beberapa hari kemudian, politisi PDIP, Hasto Kristianto membeberkan bahwa selama ini Abraham Samad telah banyak melakukan pelanggaran etika. Abraham sering melakukan aktifitas politik, termasuk dengan melobi petinggi PDIP agar dirinya dapat menjadi paket Joko Widodo sebagai Cawapres pada pilpres lalu. Titik kulminasi, adalah penangkapan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto dengan tangan terborgol oleh Bareskrim Mabes Polri. Ironisnya, penangkapan dengan borgol itu, persis berada di depan mata anaknya. Tidak berhenti sampai disitu, seolah ada diatur begitu apik, pimpinan KPK yang lain seperti Adnan Pandu Praja dan Zulkarnain, pun dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri – yang boleh jadi sebentar lagi juga akan menjadi “Tersangka”.
Atas serentetan peristiwa itu, public menarik kesimpulan bahwa saat ini ada upaya untuk melemahkan KPK. Ada pihak-pihak tertentu yang menginginkan agenda-agenda pemberantasan korupsi berhenti sampai disini.
Dilema Jokowi
Penyelamatan KPK agar agenda pemberantasan korupsi tetap berjalan telah menjadi agenda public. Presiden Jokowi didesak untuk segera menemukan solusi atas permasalahan ini. Satu kata kunci, public mengharapkan ada langkah yang dilakukan presiden agar KPK terselamatkan. Salah satu poin harapan rakyat yang juga telah menjadi rekomendasi “Tim Sembilan” adalah dengan tidak melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri.
Jika presiden gagal, ada semacam ancaman public yang tidak bisa disepelekan. Sebuah “Kemarahan” yang mungkin bisa meledak kapan saja. Temuan beberapa lembaga survey adalah salah satu indicator bahwa di 100 hari kepemimpinan Jokowi, kepercayaan rakyat semakin menurun. Ketika tingkat kepercayaan rakyat kepada pemerintah sampai pada titik kritis, bisa berdampak tidak baik bagi pemerintah. Keadaan ini dapat diperkeruh dengan ikutnya bermain kelompok berkepentingan yang melakukan propaganda-propaganda politik kepada rakyat. Masih teringat jelas gerakan people power 1998, adalah manifestasi ketidakpercayaan rakyat pada penguasa.
Tetapi, tidak melantik Budi Gunawan juga memiliki konsekuensi politis bagi Presiden Jokowi. Sebagaimana jamak diketahui, bahwa Budi Gunawan adalah titipan PDIP, partai pendukung Jokowi. Jika sampai Presiden Jokowi mengecewakan partai pendukungnya, bisa berakibat hilangnya dukungan politik di parlemen. Dapat dibayangkan, dengan KMP saja Jokowi sudah kewalahan, bagaimana jadinya jika PDIP ikut masuk dalam barisan KMP?
Keadaan menjadi berbeda ketika saat ini Presiden Jokowi sedang menyiapkan manuver politik, misalnya dengan bersiap-siap meninggalkan KIH dan menyeberang ke kubu KMP. JIka PDIP sebagai partai pendukung tidak memberi jalan yang bijak kepada Jokowi, saya kira langkah ini cukup menarik – tentu saja dengan penjajakan awal, apakah KMP bersedia menerima Jokowi.
Apapun langkah Presiden Jokowi, sebaiknya dipastikan agar beliau dapat keluar dari pusaran badai politik. Sebagai presiden, beliau harus mampu menjadi manejer konflik yang handal – meminjam istilah Schattschneider – untuk mengatasi konflik nilai, keyakinan, dan kepentingan. Apapun dan bagaimanapun alasannya, Pak Jokowi harus menjadi pemain utama yang menata aturan dan ritme permainan yang dimainkan. Karena jika gagal, bisa terjungkal dari kursi kekuasaan. Semoga berhasil Pak Presiden!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H