Mohon tunggu...
IRWAN ALI
IRWAN ALI Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti di Lingkar Data Indonesia

"Seseorang boleh saja pandai setinggi langit, tapi selama tidak menulis maka ia akan dilupakan oleh sejarah" - @Pramoedya_Ananta_Toer

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menakar Masa Depan Samad

6 Februari 2015   06:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:44 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama kali terdengar kabar Abraham Samad ikut seleksi menjadi komisioner KPK, dugaan saya – dan juga barangkali beberapa dari anda – bahwa Samad tidak akan lolos. Sebab di antara calon komisioner ketika itu, hanya Samad yang baru terlihat di pentas nasional. Sebagai penggiat LSM anti korupsi di Makassar, namanya hanya kerap mencuat di media massa lokal.

Sebagai pendatang baru, Samad terlihat lugu dan polos. Dalam suatu kesempatan Indonesia Lawyes Club diselenggarakan di Makassar yang dipandu oleh Karni Ilyas, Samad terlihat hadir sebagai peserta forum. Saat mendapat kesempatan bicara, terdengar kaku, gugup, dan gagap, sebuah pertanda ia sedang grogi berbicara di forum bergengsi itu. Mungkin bukan karena faktor tidak biasa bicara di depan umum, tetapi lebih pada kekakuan berbicara di tengah para pakar hukum nasional.

Kepolosan dan keluguan Samad terus menyertainya hingga saat uji kelayakan di DPR. Barangkali karena ini pula Samad terpilih jadi komisioner, dan yang paling mencengangkan ia menjadi ketua. Pemimpin lembaga yang paling ditakuti oleh para pencuri uang Negara. Oleh sebagian kelompok di DPR mungkin berpikir, Samad bisa ditaktis karena ia masih lugu dan polos.

Jika benar hal itu menjadi pemikiran sebagian orang, ternyata keliru besar. Sikap Samad berubah 180 derajat. Gebrakannya mengundang decak kagum para penggiat anti korupsi. Dari level bupati hingga setingkat menteri, ia “tersangka” kan tanpa ragu. Samad tak pernah takut dengan ancaman dan intimidasi kelompok yang meradang. Dengan gagah berani ia menggilas, menerjang, dan membabat koruptor. Hasilnya luar biasa, Negara kelimpungan menambah ransum ke lembaga pemasyarakatan buat makan para koruptor.

Lembaran demi lembaran Samad bersama pimpinan KPK lainnya terus mengukir prestasi. Koruptor rontok satu per satu. Tapi tidak semua memuji Samad. Cemohan dan gunjingan juga mengalir deras, bahwa Samad hanya sedang “mencitrakan” diri sebagai sosok yang tegas, bersih, dan serius memberantas korupsi – padahal Samad yang sebenarnya adalah sosok yang penuh ambisi. KPK hanya dijadikan panggung memperkenalkan diri untuk tujuan politis. Tidak sulit diterka, gunjingan ini datang dari kelompok yang meradang atas “kenakalan” Samad “menjewer” telinga para koruptor.

Hingga akhirnya, sepak terjang Samad sampai pada sebuah titik balik. Berawal dari penetapan Calon Kapolri, Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai “Tersangka” dalam kasus rekening gendut. Hanya berselang beberapa hari, beredar foto mesra yang mirip Samad dengan salah seorang finalis Putri Indonesia. Menyusul, tudingan pelanggaran etik dan pidana seperti yang diungkap oleh politisi PDIP, Hasto Kristianto bahwa Samad pernah menggelar beberapa kali pertemuan dengan petinggi PDIP untuk melobi agar bisa menjadi pasangan Joko Widodo sebagai cawapres. Ia juga dituding pernah menawarkan bantuan kepada Emir Moeis untuk dihukum ringan. Atas dasar itu, sebuah LSM yang mengaku bernama “KPK Watch” melaporkan kasus ini ke Bareskrim POLRI. Terakhir (untuk sementara) kembali beredar foto mesra yang lagi-lagi mirip Samad bersama seorang gadis cantik di sebuah hotel.

Barangkali “keberuntungan” Samad memang sudah berakhir. Kini, giliran “kesialan” yang menyertai langkahnya. Secara tiba-tiba, sahabat dekat Samad yang bernama Supriansa hadir di tengah publik dan mengaku sebagai pemilik apartemen, tempat Samad bertemu dengan beberapa petinggi PDIP. Supriansa membenarkan bahwa memang pernah terjadi pertemuan, padahal sebelumnya Samad kukuh pada pendiriannya bahwa tudingan Hasto itu adalah fitnah belaka.

Sahabat Samad yang lain, ZT, juga hadir dengan tiba-tiba bicara blak-blakan. Ia membenarkan bahwa foto laki-laki mirip Samad dan seorang perempuan di balik selimut putih bukan rekayasa, karena ia sendiri yang mengabadikan gambar itu. Konon, gambar itu diambil di sebuah hotel bintang lima di Makassar pada tahun 2007. Sekali lagi, Samad terhempas karena sebelumnya ia pun membantah kebenaran foto itu.

Lalu, bagaimana masa depan Samad? Tentu kita tidak tahu dengan pasti. Tetapi merujuk pada rentetan peristiwa belakangan ini, patut diduga Samad telah menjadi “target” untuk dihancurkan. Sulit bagi kita untuk tidak mengatakan bahwa ada konspirasi jahat untuk melengserkan Samad, tidak hanya dari KPK tapi juga dari panggung nasional. Nasib baik jika Samad masih bisa kembali ke tengah-tengah masyarakat. Ada kemungkinan lebih buruk mengintai Samad, yakni di balik jeruji besi. Ya … Samad akan mendekam di bui mengikuti seniornya, Antasari Azhar yang telah lebih dulu bermarkas di hotel prodeo. Selanjutnya, nama Samad akan hilang dan dilupakan. Cita-cita Samad gagal menjadi tokoh nasional.

Sisi lain Samad

Bahwa Samad bersama perempuan lain di hotel, itu salah – melanggar norma agama dan budaya kita sebagai orang timur. Tapi apakah kita lebih bersih dari Samad? Jangan sampai kita jauh lebih bobrok tapi kemudian tampil berbicara di media seperti malaikat yang turun dari langit. Bukankah tak sedikit pejabat yang juga berperilaku sama? Bedanya, mereka belum ketahuan karena keberuntungan masih menutup aib itu. Lain halnya dengan Samad yang sedang “sial”.

Bahwa Samad bermain politik untuk jadi Cawapres (jika benar), lalu manusia mana di Indonesia ini yang tidak tergiur dengan kekuasaan jika terbuka peluang untuk meraih itu? Saya sangat yakin hanya sedikit dari kita yang tidak akan mengambil peluang itu. Saya setuju, hal itu salah karena melanggar kode etik KPK. Tetapi kemudian menggembor-gemborkan ini sebagai sebuah kejahatan serius, seolah jauh lebih jahat dari para garong uang Negara, gagal paham saya. Logika apa yang kita gunakan? Celakanya, kita pun barangkali ikut-ikutan menyudutkan Samad sebagai penjahat yang tidak termaafkan.

Seharusnya yang kita teriakkan adalah bagaimana caranya agar koruptor yang menyengsarakan ratusan juta rakyat Indonesia itu di hukum mati saja. Kejahatan tindak pidana korupsi termasuk kejahatan luar biasa, sama seperti gembong narkoba dan teroris. Jika gembong narkoba dan teroris saja bisa di hukum mati, mengapa Koruptor tidak? Bukankah sama-sama tergolong kejahatan luar biasa? Bahkan kalau ditimbang-timbang, dampak korupsi jauh lebih berbahaya ketimbang kejahatan teroris dan narkoba. Tapi beranikah kita, atau Tuan Presiden menggagas itu? Atau minimal mengumumkan bahwa Negara Indonesia dalam status “Darurat Korupsi” dengan intonasi yang sama saat menegaskan bahwa Indonesia “Darurat Narkoba.” Saya ragu, presiden bisa melakukan itu. Sudahlah, jangan terlalu bermimpi. Bukan hukuman mati saja KPK diobrak-abrik, para komisioner dipelintir satu per satu. DAN PRESIDEN DIAM SAJA.

Akhirnya, saya mengucapkan turut berduka cita atas kematian KPK untuk kesekian kalinya. Tak lupa juga dengan hormat saya mengucapkan Selamat dan Sukses kepada para Tuan-Tuan Koruptor, semoga tetap Berjaya dan rampokannya makin banyak untuk di bawa pulang buat anak dan isteri/suami tercinta. Tak salah juga barangkali ketika sebagian hasil jarahan itu disisihkan untuk naik haji bersama mertua atau bersedekah dan amal-amal ibadah lainnya. Semoga Tuan panjang umur!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun