KELAPA masih tetap menarik dibincangkan. Sabtu malam 18 Maret lalu ihwal  perkelapaan dibahas di sebuah rumahmakan di kota Tembilahan, ibukota Kabupaten Indragirihilir (Inhil). Perbincangan dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Inhil, perusahaan PT Pulau Sambu, dan puluhan wartawan yang bergabung di PWI Cabang Riau.
Dalam perbincangan yang bertajuk "Kelapa untuk Kesejahteraan masyarakat", Sekretaris Dinas Perkebunan, Abdurrahman, mewakili Bupati Inhil, mengatakan di kabupaten ini terdapat 341.072 hektare kebun kelapa, atau terluas di tanahair. Sebanyak  67 persen penduduk mengandalkan hidup dari hasil kelapa.
Namun kenikmatan hidup masyarakat dari hasil kelapa nampaknya kini mulai meredup. Sudah banyak pohon kelapa yang berusia tua sehingga ikut menjadi faktor turunnya harga jual. Tak sedikit pula tanaman kelapa yang rusak akibat serangan hama dan rusaknya drainasi. Air yang terlalu lama menggenang membuat akar rusak sehingga mematikan pohon kelapa.
Kelapa dari bibit yang tidak bagus juga mempengaruhi kualitas buah sehingga menyebabkan turunnya harga. "Rantai pasar yang panjang pun jadi penyebab murahnya harga dari petani," kata Abdurrahman.
Humas PT Pulau Sambu, Ahlim Ginting, mengatakan untuk mengurangi rantai pasar yang panjang perusahaannya sudah berusaha membuat tempat penampungan langsung kelapa dari masyarakat. Dengan kapasitas produksi 5 juta butir kelapa setiap hari, kehadiran PT Pulau Sambu jadi cukup membantu para petani kelapa.
Abdurrahman memaparkan saat ini produsi kelapa petani mencapai 5,5 miliar butir per tahun. Â Kelapa masyarakat yang tidak terjual ke pabrik masih tetap diserap pasar. Yakni dengan dibawa ke Pekanbaru, kawasan sekitarnya, bahkan juga sampai ke Jakarta dan dikirim ke Malaysia.
Lesunya perkelapaan di Inhil, menurut Ginting, juga karena selama ini kelapa hanya dijadikan sebagai bahan baku minyak goreng. "Akibatnya banyak industri minyak goreng yang tutup," katanya.
Padahal, menurut Ginting, harus ada diversifikasi usaha. Seperti PT Pulau Sambu yang memproduksi santan kelapa dan nata de coco dari bahan baku air kelapa. Menurut Ginting keduanya kini jadi produk unggulan perusahaan.
Ginting juga mengatakan hingga saat ini belum ada tata niaga kelapa seperti di kelapa sawit. Di kelapa sawit pemerintah menentukan harga eceran tertinggi (HET) buah sawit. Sedangkan harga kelapa tergantung sepenuhnya kepada pasar.
Menurut Ginting, harga kelapa bisa naik kalau ada permintaan pasar yang besar, terutama dari luarnegeri. Namun, sangat disayangkan untuk ekspor hingga kini belum ada bea keluar atau pajak ekspor kelapa, sehingga tidak menjadi sumber pemasukan bagi negara.
Karena itu Ginting berharap pihak luarnegeri membangun industri pengolahan kelapa di Riau. Ini akan memberikan nilai tambah baik dari tenaga kerja, pajak, dan lainnya.
Sementara itu, menurut Abdurrahman, Pemkab Inhil sudah melakukan perbaikan tanggul sepanjang 1.000 kilometer untuk meli ndungi kebun kelapa petani. Selain itu, menurut Abdurrahman, solusi lainnya adalah membuat akses jalan. Selama ini kelapa dibawa dengan perahu, sehingga costnya jadi semakin tinggi.
Untuk peremajaan pohon kelapa, menurut dia, juga menghadapi kendala. Sebab sebagian kebun kelapa itu masuk ke dalam kawasan hutan. Karena itu Pemkab harus mengajukan izin dulu ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Masih panjang memang jalan yang harus ditempuh dalam memajukan perkelapaan di Inhil. (irwan e siregar)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H