Mohon tunggu...
Irwan E. Siregar
Irwan E. Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Bebas Berkreasi

Wartawan freelance, pemerhati sosial dan kemasyarakatan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Ayo Dumai, Jangan Melempem Terus

23 Februari 2023   17:37 Diperbarui: 23 Februari 2023   17:39 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suatu sudut Dumai. (Foto: detik.com)

TATKALA dimekarkan menjadi Provinsi Kepulauan Riau (Kepri),  harapan warga Provinsi Riau pun tertuju kepada Dumai menggantikan peran Batam yang telah masuk ke Kepri. Apalagi Dumai sebelumnya sudah dikenal sebagai pelabuhan ekspor utama minyak bumi mentah. Bahkan belakang menjadi pelabuhan ekspor utama minyak kelapa sawit mentah (CPO) pula.

Namun, di usianya yang kini mencapai 24 tahun, kota Dumai boleh dikatakan masih seperti anak balita. Perkembangannya sangat terasa lambat. Terseok-seok seperti jalan di tempat. Jauh berbeda dengan Batam yang terus berkembang pesat seakan ingin menyetarakan diri dengan kota internasional Singapura.

Meskipun sama-sama bersatus sebagai kota pelabuhan, ternyata peran kedua kota ini  bertolakbelakang. Batam diplot menjadi kota industri untuk menampung rembesan dari Singapura yang persis berada di depannya. Sementara Dumai lebih berperan sebagai lintasan untuk mengekspor aneka komoditi dari Riau dan sekitarnya.

Maka wajar jika dana APBN banyak dicurahkan ke Batam untuk menjadikannya sebagai patner Singapura. Sedangkan Dumai bak jalan di tempat, karena urusan minyak bumi dan CPO ditangani langsung oleh masing-masing pihak yang berkepentingan. Ekspor minyak bumi mentah langsung ditangani Pertamina tanpa melibatkan Pemko Dumai. Begitu juga dengan CPO. Pemko Dumai tak mendapat imbalan sepeser pun dari minyak bumi mentah dan CPO. Padahal, disebut dari Pajak Espor CPO saja pemerintah pusat mengaut pendapatan Rp 1 Triliun per hari.

Dumai tak dapat apa-apa, kecuali mungkin hanya dari sektor pajak PBB. APBD-nya hanya sebesar Rp 1,7 triliun per tahun. Sementara jalan rusak akibat truk CPO harus ditanggulangi sendiri. Pertamina dan para pengusaha CPO seperti tidak mau tahu.

Sebenarnya posisi Dumai mirip Singapura. Hanya sebagai tempat transit, bukan kawasan penghasil. Tapi, warga Singapura gesit, sehingga berperan besar sebagai pengelola kawasan transit. Bahkan, kini sudah seperti calo yang berperan menghubungkan pemasok dengan pembeli. Sementara komoditasnya tak pernah nongol di Singapura.

Warga Dumai nampaknya sulit untuk mengambil peran seperti itu. Sebab semua komoditi yang lewat dari pelabuhan sudah jelas pasarnya. Tak perlu lagi dicari pembelinya.

Kendati begitu, Dumai jangan cuma terus jadi penonton semata. Pemko dan warga harus proaktif mencari peluang pitmas alias pitih masuak atau uang masuk. Bersama DPRD setempat harus menciptakan peraturan daerah (perda) yang mampu menarik dana dari keuntungan minyak bumi dan CPO.

Peluang lain yang bisa didapatkan, misalnya, dengan membuka terminal truk tangki CPO dan BBM. Minyak bumi umumnya sudah memakai pipa langsung ke kapal.

Terminal truk tangki memang sudah ada di kawasan perkantoran DLLAJR Dumai. Namun kondisinya kini sudah tidak memadai lagi. Sering terlihat truk menumpuk panjang di jalan Datuk Laksmana dan Kawasan Purnama, menunggu antrean membongkar CPO ke tangki penampungan di pelabuhan.

Terminal truk yang dibangun bisa dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang melibatkan warga setempat. Misalnya membuat SPBU, rumahmakan, pusat perbelanjaan, penginapan, sarana rekreasi/hiburan, bahkan juga panti pijat tradisional.

Selain itu, Pemko Dumai dan warga bisa menangguk rezeki dari kapal-kapal tanker yang sedang antre menunggu pemuatan CPO dan minyak bumi. Yakni dengan membuat pasar terapung yang menjual aneka kebutuhan awak kapal. Serta mengadakan ojek sampan untuk transportasi dari pelabuhan ke kapal.

Agaknya banyak lagi peluang yang dapat dilakukan di Dumai. Sebagai kawasan di Selat Malaka yang padat dengan pelayaran internasional, Dumai juga bisa membuat depo untuk penjualan air bersih dan BBM yang melintas di sana. Sebab di Singapura harganya bisa lebih mahal. Selain itu Dumai bisa membuat galangan kapal, sehingga kapal yang akan diperbaiki tidak harus antre panjang di Singapura.

Yang juga harus dilakukan Dumai ialah menerobos peluang dagang dengan Melaka, Muar, Negeri Sembilan, dan juga Port Klang yang berseberangan. Kalau dulu ada perdagangan lintas batas, mengapa sekarang tak dilanjutkan.

Sering diberitakan saudara di seberang membutuhkan kelapa dalam jumlah banyak. Boleh jadi karena semua lahan di sana sudah menjadi kebun sawit. Nah, seharusnya peluang ini yang ditangkap warga Dumai. Bahan baku bisa diambil dari Indragirihilir/Riau, Pariaman/Sumatera Barat, dan juga Sumatera Utara dan Jambi.

Harapan Dumai untuk dapat lebih maju lagi sebenarnya masih tetap ada. Tinggal lagi kemauan dari pemerintah setempat dan warga untuk menangkap peluang yang masih banyak tersaii. Semoga. (irwan e siregar)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun