Mohon tunggu...
Irwan E. Siregar
Irwan E. Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Bebas Berkreasi

Wartawan freelance, pemerhati sosial dan kemasyarakatan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Singapura Juga Ada Praktik Perdukunan

4 Agustus 2022   11:09 Diperbarui: 4 Agustus 2022   11:22 917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HEBOH dunia perdukunan. Pesulap Merah, Marcel Radhival, membongkar praktek trik sulap untuk memperdaya para korbannya. Padepokan Gus Samsudin sampai ditutup masyarakat karena terbukti melakukan kecurangan tersebut.

Praktek perdukunan bukan hanya ada di tanahair saja. Di negara Singapura yang sudah cukup modern pun ternyata masih ada. Saya menemukannya sendiri usai meliput berita di Pengadilan Tinggi di sana.

Saat itu persidangan seorang pelacur asal Indonesia yang didakwa membunuh seorang temannya satu profesi. Di negara pulau ini pembunuh biasanya dijatuhi hukuman gantung sampai mati. Tapi, bernasib baik, dia hanya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

Cukup menarik untuk bahan berita. Sayangnya, seperti biasa, hakim yang menangani kasus ini tidak boleh diwawancarai. Sedangkan jaksa dan polisi menyuruh mengutip dari komputer untuk umum yang bebas dibuka di gedung pengadilan.

Untuk memperkaya bahan berita, saya pun mencegat penterjemah ketika keluar dari ruang sidang utama yang sangat luas. Berukuran  sekitar 2.500 meter persegi. Di negara ini semua persidangan harus berbahasa Inggris. Sehingga diperlukan jasa penerjemah bagi pesakitan yang tak mengerti bahasa ini.

Mungkin karena khawatir tidak dipakai lagi jika memberikan keterangan kepada pers, si penerjemah yang berasal dari Indonesia itu langsung menyuruh menunggu di shelter taksi. Tak lama setiba di bawah, dia langsung menyuruh saya ikut naik taksi ke rumahnya. Seperti adegan di film saja.

Sekitar 25 menit perjalanan kami sampai di apartemennya. Keluar dari lift, di depan pintu rumahnya ternyata sudah menunggu sepasang warga keturunan Tamil beserta seorang anaknya yang masih balita. "Ini pasien saya," katanya menjelaskan. Ternyata, penerjemah bertubuh agak kecil ini punya profesi lain sebagai dukun.

Kaget juga mendengarnya. Apalagi karena di negara ini kehidupan sudah serba modern. Warganya yang sekuler  tak percaya lagi dengan tahayul dan perdukunan. Tapi ternyata dugaan itu keliru.

Tanpa canggung-canggung si penerjemah  menceritakan profesi gandanya itu. Bahkan, dia pun mengatakan bisa menyantet orang, seraya memegang sebuah boneka yang ditusuk sebuah jarum di perutnya. Memang saya tak mencium bau asap dupa atau pun aroma jeruk purut. Namun, aneka barang di ruang tamu sudah bisa menjadi petunjuk dia adalah dukun.

Saya tak sempat menanyakan berapa tarif perdukunan itu. Tapi, dia mengaku pasiennya lumayan banyak, dari berbagai sukubangsa. Boleh jadi hal itu benar. Sebab, saat seorang penerjemah lain saya tanyakan, ia mengatakan kawan seprofesinya ini memang agak jarang dipakai di pengadilan maupun kepolisian. Dengan begitu, untuk menutupi biaya hidup dan sewa rumah yang cukup mahal, harus ada pekerjaan tambahan lainnya. Seperti menjadi dukun.  (irwan e. siregar)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun