AKU lahir dan sampai SMP tinggal di kota Pematangsiantar, Sumatera Utara, yang lumayan sejuk. Orangtuaku tinggal di jantung kota yang mayoritas dihuni orang Tionghoa. Tapi aku lahir setelah kami pindah rumah agak ke pinggir kota. Rumah lama hanya jadi tempat usaha ayah.
Aku masih ingat saat perayaan tahun baru Imlek banyak relasi ayahku yang mengantarkan makanan. Terutama kue bakul yang jadi penganan utama saat Imlek.
Karena berbeda agama, awalnya kami jadi ragu-ragu memakan kue bakul itu. Namun, emak langsung menjelaskan kue tersebut halal. Membuatnya harus bersih. Kotor sedikit saja bisa gagal membuatnya.
Kue yang sering juga disebut kue keranjang ini terbuat dari gula, beras ketan, santan, dan sedikit minyak. Bentuknya yang bulat disebut untuk  melambangkan harapan keluarga yang selalu bersatu dan rukun.
Antar-mengantar kue ini waktu itu sudah mentradisi di sini. Kalau hari raya kami membuat kue lebaran dan lemang. Makanan beras pulut itu dimasak di dalam bambu. Aku suka ikut mengantarnya ke relasi ayah yang Tionghoa. Sebab pulangnya sering dikasih lilin kecil untuk dipasang di pagar rumah serta mercon. Sayang, tradisi seperti itu kayaknya kini sudah semakin menghilang.
Hiburan barongsai pun kini tak semeriah dulu. Seperti pengamen, mereka datang dari pintu ke pintu minta ang pao. Kalau dulu, saat barongsai pada malam hari, jalan utama di kota ditutup. Arak-arakan barongsai yang panjang menyusuri jalanan. Mereka beraksi dan mengambil ang pao dari jendela ruko di lantai dua yang sudah disiapkan warga.
Penduduk di tengah kota umumnya memang keturunan Tionghoa. Kendati jumlahnya, menurut statistik hanya empat persen, namun mereka mendominasi seluruh kawasan perkotaan.
Namun, biarpun hidup berkelompok, tapi hubungan kekerabatan dengan masyarakat pribumi kelihatan tidak ada ganjalan. Aku masih ingat, kalau beli keperluan di toko milik orang Tionghoa, tidak perlu bawa uang. Si toke cuma mencatat di buku yang telah disiapkan. Nanti setiap bulan baru dibayar.
Setelah generasi orangtua kami, hubungan kekerabatan pun kelihatan sudah kian menjauh. Memang sebagian masih ada yang saling bertegur-sapa. Sekitar 250 meter dari tempat usaha ayahku, misalnya, ada kedai kopi Sedap, yang namanya sudah melegendaris di tanah air.Â
Selain kopinya yang top, di sini disediakan pula roti bakar pakai srikaya yang sangat lezat. Kedai kopi yang paling mentreng di kota ini sekarang dikelola anaknya. Kalau kami datang, si anak langsung menyambut baik, seperti kawan yang sudah lama tak jumpa.
Pernah juga di Pekanbaru, Riau, aku memotokopi bahan cetakan. Hanya di situ yang bisa dilakukan. Tak lama keluar seorang Nyonya, memandangiku, lalu menyebutkan nama marga ayahku. Kaget juga. Dia masih ingat, padahal kami jumpa pada masa kanak-kanak dulu.
Saat SMP di kelasku ada sepertiga murid yang Tionghoa. Salah seorang jadi pengusaha angkutan barang trayek Medan - Pekanbaru. Kalau dia ke Pekabaru terkadang datang ke rumah atau setidaknya menelepon. Begitulah dulu akrabnya kita dengan orang Tionghoa. (irwan e. siregar)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H