ORANG Minang terkenal sebagai perantau yang tangguh. Hampir di seluruh pelosok dunia bisa ditemukan warga keturunan bundo kandung ini. Bahkan ada yang sudah beberapa generasi beranakpinak di perantauan.
Mereka bisa betah hidup di negeri orang tak lain karena menerapkan pepatah nenek moyang: "Di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung." Pepatah ini pula yang menyebabkan kedatangan mereka ke perantauan selalu diterima dengan tangan terbuka. Orang Minang pun pandai bergaul, sehingga bisa langsung akrab dengan tuan rumah.
Di Medan, misalnya, orang Minang yang baru beberapa saat datang ke Medan sudah langsung bisa berbahasa Medan. Padahal boleh jadi dia berasal dari pedalaman di Sumatera Barat, yang selama ini tak pernah mendengar bahasa itu.Â
Hal ini bisa dilihat di komunitas orang Minang di Medan, seperti di kawasan Sukarame, Kotamatsum, dan sekitarnya. Sesama mereka dalam kehidupan sehari-hari tak lagi menggunakan bahasa Minang, tapi sudah berbicara dalam logat Medan yang kental.
Lebih menarik lagi di kawasan Malioboro, Yogyakarta. Ada kawan memberi tips: "Kalau mau belanja murah, pakai bahasa Minang." Bukan bahasa Jawa.Â
Sebab kebanyakan pedagang kaki lima di sana berasal dari Minang. Namun mereka tak menggunakan bahasa asalnya di sana, sehingga banyak yang menyangka mereka orang Jawa.
Hal seperti ini rasanya terjadi juga di tempat perantauan lain. Namun, ada satu tempat perantauan yang berbeda. Yakni di Pekanbaru dan daerah lainnya di Provinsi Riau. Perantau Minang sangat banyak di kawasan ini. Dan mereka umumnya tetap menggunakan bahasa daerah asalnya, sehingga bahasa Minang boleh dikatakan menjadi bahasa sehari-hari di Riau. Baik itu di pasar maupun tempat umum lainnya.
Bahkan di sekolah pun, anak-anak yang baru masuk sekolah masih sering menghitung dengan angka: ciek, duo, tigo, ampek... Kalau tak pandai berbahasa Minang di Riau, kita akan kesulitan dalam berkomunikasi. Sebab Orang Melayu dan pendatang lainnya pun sudah ikut-ikutan berbahasa Minang.
Mengapa bisa terjadi hal seperti ini? Padahal Riau merupakan tanah Melayu yang memiliki bahasa sendiri. Bahkan bahasa Indonesia disebut berasal dari Bahasa Melayu.
Ada yang mengatakan hal ini bisa terjadi karena setelah merdeka kawasan ini secara teritorial masuk ke Provinsi Sumatera Tengah yang beribukota di Bukittinggi.
Hal ini menyebabkan Riau menjadi banyak tergantung ke pusat pemerintahan yang terletak di Sumatera Barat ini. Para pegawai pemerintah, termasuk guru, banyak didatangkan dari sana.Â
Dibukanya tambang minyak dan berbagai kegiatan perdagangan lain, menyebabkan orang Minang pun berjibun yang mengadu nasib ke Riau. Begitu pula saat pemberontakan PRRI, daerah ini menjadi salah satu tempat pengungsian mereka.
Akibatnya, secara perlahan orang Minang menganggap Riau adalah kampung halaman sendiri. Bukan lagi sebagai tempat perantauan. Warga setempat pun tampaknya tak begitu mempermasalahkan hal ini.
 Apalagi di sebagian tanah Melayu ini juga ada yang memakai adat ninik mamak, seperti di Minang. Dari segi bahasa pun banyak terdapat kemiripan. Kecuali di kawasan pesisir, seperti Siak, Bengkalis, Meranti, dan Rokanhilir, yang masih kental bahasa Melayunya.
Menariknya, ada di suatu kawasan di Sumatera Barat yang  terjadi justru sebaliknya. Yakni di sekitaran kota Panti dan kabupaten Pasaman yang berbatasan dengan  Kabupaten Madina, Sumatera Utara.Â
Warga di sini umumnya dalam kegiatan sehari-hari menggunakan tiga bahasa: Minang, Mandailing, dan Indonesia. Kalau orang Minang bertemu orang Mandailing, mereka bisa menggunakan bahasa masing-masing atau memilih salah satu bahasa tersebut.
Bahasa Minang dan Mandailing tidak memiliki akar kata yang sama. Mandailing lebih dekat atau merupakan bagian dari bahasa Batak. Hanya dialek pengucapannya yang berbeda. Sedangkan Minang lebih dekat ke Melayu.Â
Namun sekarang serapan bahasa Minang sudah banyak masuk ke bahasa Mandailing. Orang Mandailing, misalnya memanggil saudara ibunya dengan sebutan: (mak) etek. Padahal kalau di bahasa Mandailing disebut: bujing.
Semakin eratnya hubungan antarsukubangsa ini memang cenderung menyebabkan timbulnya asimilasi bahasa. Di Riau hal seperti itu pun terjadi, meski bahasa Minang telah cukup mendominasi. (irwan e. siregar)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H