Dibukanya tambang minyak dan berbagai kegiatan perdagangan lain, menyebabkan orang Minang pun berjibun yang mengadu nasib ke Riau. Begitu pula saat pemberontakan PRRI, daerah ini menjadi salah satu tempat pengungsian mereka.
Akibatnya, secara perlahan orang Minang menganggap Riau adalah kampung halaman sendiri. Bukan lagi sebagai tempat perantauan. Warga setempat pun tampaknya tak begitu mempermasalahkan hal ini.
 Apalagi di sebagian tanah Melayu ini juga ada yang memakai adat ninik mamak, seperti di Minang. Dari segi bahasa pun banyak terdapat kemiripan. Kecuali di kawasan pesisir, seperti Siak, Bengkalis, Meranti, dan Rokanhilir, yang masih kental bahasa Melayunya.
Menariknya, ada di suatu kawasan di Sumatera Barat yang  terjadi justru sebaliknya. Yakni di sekitaran kota Panti dan kabupaten Pasaman yang berbatasan dengan  Kabupaten Madina, Sumatera Utara.Â
Warga di sini umumnya dalam kegiatan sehari-hari menggunakan tiga bahasa: Minang, Mandailing, dan Indonesia. Kalau orang Minang bertemu orang Mandailing, mereka bisa menggunakan bahasa masing-masing atau memilih salah satu bahasa tersebut.
Bahasa Minang dan Mandailing tidak memiliki akar kata yang sama. Mandailing lebih dekat atau merupakan bagian dari bahasa Batak. Hanya dialek pengucapannya yang berbeda. Sedangkan Minang lebih dekat ke Melayu.Â
Namun sekarang serapan bahasa Minang sudah banyak masuk ke bahasa Mandailing. Orang Mandailing, misalnya memanggil saudara ibunya dengan sebutan: (mak) etek. Padahal kalau di bahasa Mandailing disebut: bujing.
Semakin eratnya hubungan antarsukubangsa ini memang cenderung menyebabkan timbulnya asimilasi bahasa. Di Riau hal seperti itu pun terjadi, meski bahasa Minang telah cukup mendominasi. (irwan e. siregar)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H