Kebijakan pemerintah seharusnya menjadi solusi bagi masyarakat, bukan malah menjadi beban baru. Namun, dua kebijakan terbaru, yakni kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan penerapan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), justru menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat kelas menengah.Â
Kedua kebijakan ini saling bertolak belakang dan berpotensi mencekik perekonomian keluarga yang berpenghasilan terbatas.
Kenaikan UKT, Mimpi Kuliah yang Semakin Jauh
Pendidikan tinggi seharusnya menjadi kesempatan bagi setiap warga negara untuk meningkatkan kualitas hidup dan memperbaiki nasib. Namun, kenaikan UKT yang signifikan membuat mimpi kuliah semakin jauh dari jangkauan bagi sebagian besar masyarakat kelas menengah. Banyak keluarga yang harus merantau dan meninggalkan rumah demi membiayai pendidikan anak-anak mereka.
Ironisnya, kenaikan UKT ini terjadi di tengah kondisi perekonomian yang lesu akibat pandemi COVID-19. Banyak keluarga yang mengalami penurunan penghasilan atau bahkan kehilangan pekerjaan. Dalam situasi seperti ini, kenaikan UKT hanya akan semakin membebani keluarga dan menghambat akses pendidikan tinggi bagi kaum muda.
Tapera: Impian Rumah atau Beban Baru?
Di sisi lain, kebijakan Tapera yang mewajibkan pemotongan gaji sebesar 3 persen bagi pekerja sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR) juga menuai kontroversi.
Konsep Tapera memang mulia, yakni membantu masyarakat memiliki rumah layak huni. Namun, implementasinya justru berpotensi menambah beban bagi keluarga kelas menengah yang penghasilannya sudah terbatas.
Dengan adanya pemotongan gaji sebesar 3 persen, daya beli masyarakat akan semakin berkurang. Akibatnya, kebutuhan pokok seperti makanan, kesehatan, dan pendidikan akan semakin sulit dipenuhi. Hal ini tentunya bertentangan dengan tujuan awal Tapera, yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan yang Saling Bertolak Belakang
Kedua kebijakan ini, UKT dan Tapera, saling bertolak belakang dan menciptakan dilema bagi masyarakat kelas menengah.
Di satu sisi, mereka harus menanggung beban kenaikan UKT yang tinggi untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka. Di sisi lain, mereka juga harus menyisihkan sebagian penghasilan untuk Tapera, yang notabene adalah program jangka panjang.
Situasi ini menciptakan ketidakpastian dan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Bagaimana mereka dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, membiayai pendidikan anak, dan pada saat yang sama menyisihkan uang untuk tabungan perumahan? Kebijakan ini seolah-olah tidak mempertimbangkan kondisi riil masyarakat kelas menengah.