Menurutnya, langkah tersebut bisa menyinggung sensitivitas umat non-Muslim yang mungkin tidak nyaman dengan identitas KUA yang erat dengan Islam.
Tidak hanya itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) pun turut mengemukakan keprihatinan mereka.
Mereka menekankan perlunya pertimbangan yang matang terkait implikasi kebijakan ini terhadap praktik dan keyakinan agama masing-masing.
Sementara itu, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) menyambut baik keputusan tersebut. Mereka menganggap bahwa langkah tersebut bisa menjadi jembatan untuk memperdalam toleransi antar umat beragama dan menunjukkan semangat inklusivitas dalam layanan keagamaan.
Pertentangan pendapat yang terjadi di tengah masyarakat mencerminkan kompleksitas tantangan dalam membangun keselarasan antara kebutuhan praktis administratif dengan sensitivitas keagamaan dan keberagaman budaya.
Namun, di balik perbedaan pendapat tersebut, kita perlu menggali lebih dalam makna dan implikasi dari rencana tersebut.
Pertama-tama, langkah untuk menjadikan KUA sebagai tempat pernikahan bagi semua agama sejalan dengan semangat inklusivitas dan pluralitas yang menjadi karakteristik Indonesia. Ini merupakan langkah progresif yang sejalan dengan semangat kebhinekaan yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa.
Dengan memperlakukan semua agama secara adil dan merata dalam pelayanan keagamaan, negara menegaskan komitmennya untuk memperlakukan semua warga negara dengan hormat dan setara di mata hukum.
Inisiatif ini sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang menghargai hak asasi manusia, termasuk kebebasan beragama dan beribadah.
Kedua, langkah ini juga memiliki potensi besar untuk memperdalam dialog antar agama dan meningkatkan toleransi antar umat beragama.
Dengan memberikan kesempatan bagi berbagai agama untuk berbagi ruang dan pengalaman, ada potensi untuk memperkuat rasa saling menghargai dan memahami di antara umat beragama.